Rabu, Oktober 22, 2008

Apakah cinta sama dengan ikhlas?


Aku bisa merasakan ada yang mendidih dalam diriku, aku berkelit hingga berlari kencang entah kemana selama ada denyut napas.
Telingaku aku buat tuli dan mulutku aku kunci agar tidak bisa mendengar dan mengumpat nama itu lagi.
Terlalu sakit untuk diucap.
Terlalu pedih untuk diingat.
Terlalu marah untuk aku hujat.
Karena kedudukan dia dalam hatiku teramat tinggi.
Bagaimana bisa aku hajar dia dengan kata-kataku yang di bawah nol?

Aku bisa merasakan perasaanku remuk, dadaku pecah, tenggorokanku retak dan segala yang tersisa berserakan di atas tanah
Tetapi kali ini aku pilih untuk mendiamkan dan merelakan angin membawa serpihan itu pergi.
Kali ini aku biarkan diriku melalui proses perih yang sejak sepuluh hari lalu menyayat hati dan pikiranku.
Biar saja hujan menghapus jejaknya.
Meski benakku masih menyangkal dan berusaha untuk percaya bahwa ada alasan untuk semuanya, tetapi sakit yang kurasa sekarang terlalu menutupi ibaku padanya.

Aku akan rela melepas semua meski itu akan menghancurkanku
Aku akan rela menelanjangi diriku sendiri demi nama itu
Aku akan rela hilang dari hidupnya bila memang itu yang akan membuatnya lepas
Aku akan rela mencabik-cabik kemanusiaanku demi merasakan hujaman perih ini
Aku akan rela untuk nya

Bukankan inti dari mencintai seseorang adalah sebuah keikhlasan tanpa batas?

h.nawi 1 no 1 a
rabu, 22 Oktober 2008
pk. 13.58

Selasa, Oktober 21, 2008

Dia hanya tidak paham


Kadang, dalam hidup ini memang banyak hal yang tidak bisa aku duga. Seperti perasaanku yang berkembang begitu dahsyatnya pada seseorang. Semua rasa yang aku timbun kepadanya seperti letupan kembang api, seperti ledakan granat, seperti bunga yang sedang mekar, seperti remaja yang sedang jatuh cinta pada pertama kalinya. Putaran rasanya seperti komedi putar, membuat keseluruhan diriku berputar seperti gasing.

Tapi ada beberapa hal juga dari proses merasakan ini yang membuatku tidak nyaman, seperti perasaan rindu, cemburu, perasaan ingin memiliki, marah, menunggu, cemas, dan lain-lain. Sepertinya pusaran hidupku akhir-akhir ini hanya kepadanya, terpusat kepadanya. Dan itu yang aku tidak suka.
Aku adalah seseorang yang selalu menghindar untuk bereksperimen dengan diriku sendiri. Aku selalu lari dari proses, menghindar dari perubahan, malu berhadapan dengan diriku sendiri.
Itulah yang sedang aku renungi beberapa waktu belakangan ini.
Hidupku sangat dinamis, berputar sangat cepat, jungkir balik, naik turun, berkelok dan seringkali terhempas ke lembah yang tidak aku kenal.

Aku bisa merasakan diriku asing.
Aku bisa merasakan diriku terbang.
Aku bisa merasakan diriku telanjang.
Aku bisa merasakan diriku menari.
Aku bisa merasakan diriku orgasme.
Aku bisa merasakan diriku mencari tubuhnya di dalam tubuhku.

Aku seringkali mencari sesuatu yang terlalu abstrak untuk kucapai.
Tapi pembenaran yang kupakai di otakku, bukankah hidup itu memang absurd?
Kau selalu tidak bisa menebak apa yang akan terjadi 10 menit kemudian dalam hidupmu?
Kau selalu tidak bisa menebak apa yang ada dibenak dan dipikiran seseorang tentang dirimu?
Dan itu yang membuat aku menderita saat ini.
Ketika kamu mencintai segala yang ada pada diri seseorang tetapi yang bersangkutan tidak mampu menyadarinya.




H. Nawi 1 no 1 a
21 oktober 2008 / Selasa
13.10 WIB

Senin, Oktober 20, 2008

Pura-pura


Aku mencoba membayangkan berulang kali semua kata-kata cinta yang dia utarakan kemarin sore. Tetapi hatiku mengatakan itu hanya rekayasa rasanya saja, hanya untuk mencuri perhatianku saja, aku tidak merasakan ketulusannya dalam benakku.

Lantas aku jadi berpura-pura mendengar, berpura-pura peduli, berpura-pura paham, dan berpura-pura empati, padahal hatiku sengaja aku buat tuli.

Wajahnya yang penuh cahaya berbinar seperti pijar lampu, bibirnya mengembang dengan senyum yang teramat sangat manis, jemarinya naik turun mengikuti alunan suaranya ketika berbincang denganku, dan aku terus memperhatikannya.
Sepertinya dia tidak menyadari kalau aku tidak tertarik padanya, atau aku yang terlalu pandai menyimpan rasaku?

Ketika pada akhirnya aku berpaling dan berlalu, dirinya bisa kuperhatikan langsung mengejang kencang dan kaku. Raut wajahnya tersinggung dan gerahamnya bisa kudengar bergemeletuk seperti pecahan es batu dalam mulut.
Aku terus berlalu dan berpaling. Aku abaikan perasaan tidak enak, aku tidak hiraukan kilat matanya yang marah, aku tidak peduli bila yang aku lakukan ini akan menyakitkannya.
Karena sesungguhnya aku bukan orang yang bisa terlalu lama berpura-pura dan diam dalam keangkuhan yang tidak jelas seperti sekarang.

Buatku, sekarang atau nanti sama saja.
Karena aku tidak memiliki rasa apapun padamu.

Jakarta, 20 Oktober 2008
H. Nawi I no 1
Pk. 15.50 WIB

Rabu, Oktober 15, 2008

TUNDA

Untaian kata sudah nyaris keluar dari bibirku, entah apa yang menahannya, hanya hatiku bilang “Jangan!”
Tanganku sudah ingin nyaris menyentuh tubuhnya, hanya saja ada yang menarik tanganku kembali dan bilang, “Belum!”
Bibirku sedikit saja sudah akan mampir di bibirnya, cuma sekejap saja aku menarik tubuhku kembali dan bilang, “Nanti!”
Hati dan pikiranku mengatakan, “Tunda!”
Sisi lain diriku mengatakan, ”Apa yang bisa kau tunda dari sebuah rasa yang sudah membuncah?”

Renakse Hotel
Phnom Penh, Cambodia
9 Oktober 2008
Pk. 8.44 AM

Aku mencintai aku



Aku tidak pernah membayangkan hidupku akan seperti ini. Yang tadinya hidupku tanpa warna, hanya penuh dengan pertanyaan, kekecewaan dan ketidakbahagiaan, beberapa tahun terakhir aku bisa merasakan betapa aku memang masih menginginkan sebuah kehidupan yang lebih dahsyat lagi.

Aku mencintai pekerjaanku.
Aku mencintai sahabat-sahabatku.
Aku mencintai beberapa laki-laki sekaligus.
Aku mencintai hingar bingar.
Aku juga menikmati alkohol turun ke tenggorokanku dan membuatku hilang kontrol sedikit.
Aku mencintai rasa perih ketika tubuhku dirajah dengan tinta
Aku mencintai tubuhku dinikmati dengan penuh hasrat dan rasa
Aku mencintai kebebasan yang aku miliki sekarang.
Aku bisa memilih jalan yang akan aku pertanggung jawabkan segala resikonya.
Aku lebih menikmati keperempuananku.
Aku jauh menikmati proses hidupku sekarang.
Aku jatuh cinta pada eksistensiku sebagai ”seseorang”.

Jadi, ketika banyak orang bertanya mengapa aku memilih untuk hidup sendiri?
Aku pikir, hanya aku dan setan yang tahu bagaimana rasanya menjadi diriku sendiri.
Dan peduli setan dengan pertimbangan dan analisa orang-orang tentang aku?
Aku bukan milikmu. Aku milik diriku sendiri.

Aku tidak takut akan kesendirianku.
Aku tidak takut akan pandangan remeh orang-orang ke aku.
Aku tidak takut akan esok.
Aku tidak takut hari ini.
Aku lebih tidak takut lagi akan kemarin.
Karena kemarin lah yang membuatku seperti sekarang.

Jadi,
Jangan tanya aku lagi dengan pertanyaan mengapa aku memilih untuk berpisah darimu ...
Karena jawabannya sangat sederhana ...
Aku cinta diriku lebih dari aku menginginkan kamu dalam hidupku!


Renakse Hotel – Phnom Penh, Cambodia
Room 21
10 Oktober 2008
Pk. 00.01