Rabu, Desember 31, 2008

mulai 1996 hingga detik ini


Aku meraba namamu diatas batu nisan macam tuna netra membaca huruf Braille
Aku iba pada mataku yang terus diburai oleh air mata yang tidak mau berhenti
Aku ngeri pada tubuhku yang sibuk bergetar mengingat apa yang telah terjadi antara kita berdua selama 1996 - 2006
Aku mulas membayangkan seberapa banyak kejadian hebat yang sudah kita lalui bersama
Kini ketika setelah 2 tahun aku tidak pernah mengetuk ‘rumah’ mu
Aku tersadar sudah
Aku rindu kamu di belantara badaiku

Karena kamu adalah jiwaku
Karena kamu adalah deritaku
Karena kamu adalah persembahan sekaligus pengorbananku
Karena kamu adalah laki-laki yang aku cintai melebihi apapun di dunia ini melebihi kecintaanku pada diriku sendiri
Dan karena kamu aku tidak mampu lagi mencintai
Persediaan cintaku telah tandas
Telah kau reguk hingga ludas

Aku akui ketika mengurai air mata di atas ’rumah’ mu
Betapa luar biasanya kisah perang dan bendera putih antara kita
Aliran listrik trilyunan watt
Cinta terberat yang dipenjara oleh candu
Pengorbanan yang absolut

Aku iri kamu sudah merdeka
Sementara aku belum
Aku sampaikan salam dari perempuan mu yang kedua setelah aku,
Apakah kamu dengar ketika aku sampaikan dalam bisikku?

Aku membayangkan tanganmu yang magis itu menyentuh kulitku
Tidak seperti ketika kita pertama kali berkenalan
Karena kau memilih cara yang unik untuk menyampaikan salam
Kau hanya berikan sebuah lukisan, puisi, buah apel dan secarik kertas bertuliskan, ”Bidadari, boleh aku kenal kamu?”
Dan seketika itu kau sudah memiliki hatiku

Seketika itu aku tahu kau sudah memiliki hatiku
Dan maut menjemputmu pada 23 Mei 2006 dariku
Dan kita, pasangan kriminal yang saling memuja satu sama lain berpisah tidak lagi satu
Tidak lagi jadi candu

Tidak lagi satu
Hanya aku
Aku


Jakarta, 31 Desember 2008
Pk. 16.28 WIB
Kembali ke kotak inspirasiku, Nawi!
Kerinduan akan dia di belantara badaiku ...

Sabtu, Desember 27, 2008

When ICE CUBE meets SODA CAN (Part one)

Ice cube: You told me that I’m cold. It’s not what I want. I tell you what I want. Dance!
Ice cube: I am running amidst the gust of wind, through the gale, and crying in the hold of rain.
Ice cube: Do you think I want that? Hell no! This is my fate, the nature told to me.
Ice cube: And I’m still here pacing with my bare feet and playing with the devil. Can I still be…extreme?

Soda can: Do you know that my heart’s lantern is laughing at me?
Soda can: Two, four, and even more than ten times she’s laughing at me.
Soda can: I don’t even know what makes her so ticklish.
Soda can: I know that she knows that I don’t know on her knowledge-ness.
Soda can: And it brought me to you.
Soda can: Something that comb me with millions of queries.
Ice cube: Your laugh, Soda can, is not something that I would like to know.
Ice cube: It’s used for me to know whether you recognize and ultimately understand on what happened to me, however.

Soda can: Can you tell me each and every single thing that happened to you?
Soda can: Fate, the nature told to you? I don’t believe that. I just don’t buy that.
Soda can: Prove it to me that you are really able to make me understand and finally understand you.
Soda can: To understand that what happened to you will make me…
Soda can: Believe.
Ice cube: Later, the time shall come when I liquefy myself in my own mouth.
Ice cube: Just wait until the last gnaw.
Ice cube: Just wait until everything ends with the melted ice.
Ice cube: When my heart is dissolved together with the rising sun.

Soda can: I want to hold you.
Soda can: Before you liquefy yourself in your mouth.
Soda can: I want you, melted in my body.
Soda can: In my Soda can.
Soda can: In my Soda can.
Soda can: I don’t want you to be an ice cube which liquefy and dissolve with no meaning and purpose.
Ice cube: What kind of soda are you anyhow?
Ice cube: What do you have for me as an ice cube?

Soda can: I may not the finest soda.
Soda can: But what I know is that I need you because I will become into an unadorned entity if frostiness does not embrace me.
Soda can: And you may pass away in just second counts of your life in the process of melt,
Soda can: If you do not melt within me.
Soda can: You know what? I always look at your refrigerator,
Soda can: Always look at the light inside your refrigerator,
Soda can: And I always…amazed.
Soda can: And you always denied the existence of such light within yourself.
Soda can: I was also bemused to know the fact that some time ago you have conveyed your coldness to a piece of meat inside your refrigerator.
Soda can: Do you know the word jealous?
Soda can: I was jealous when you picked the meat instead of me.
Ice cube: Jealous?
Ice cube: Jealousy kills.
Ice cube: Kills?
Ice cube: Kills!
Ice cube: Jealous!!
Ice cube: l.o.v.e.
Ice cube: Spell that word.
Ice cube: s.o.d.a
Ice cube: Try to spell that.
Ice cube: f.e.e.l.
Ice cube: Try to spell that.
Ice cube: j.e.a.l.o.u.s.y.
Ice cube: Why don’t you ask that?
Ice cube: w.h.y.

Soda can: Why should I always the first one to answer all of your questions?
Soda can: Why don’t you be the one to start explaining everything?
Soda can: Is it because you’re cold?
Soda can: so that you can do anything like that?
Soda can: Make me the Soda can feel…jealous.
Soda can: You think you can do anything including dissolve with another ice cube and turned out into a bigger one?
Soda can: And reigns upon your refrigerator?
Soda can: You are not even greater than the cold wind, you know.
Soda can: It just that you are...
Soda can: Corporeal.
Ice cube: I am not a devil.
Ice cube: I am an ice cube, solid, fragile, frosty, and sub-zero.

Soda can: Ah, none of any persona in this idyllic sphere
Soda can: In this nature, quoting yours
Soda can: That can claim herself as a God
Soda can: And thus, none of any persona in this world as well can claim as a devil
Soda can: Either, not a devil.
Soda can: Even if you are a devil, however, I still can enjoy your addictive coldness.
Ice cube: Spell that one.
Ice cube: a.d.d.i.c.t.i.v.e.
Ice cube: Spell.
Ice cube: i.c.e. c.u.b.e.


Between Kuala Lumpur and Jakarta
2Gemini
26-27 December 2008
When ICE CUBE meets SODA CAN (Part one)

My own language




I am sorry I can’t explicate in a better manner
I am sorry I have a limitation in stating things
I have my own vocabulary for things that I perfectly can’t state
I even don’t have the key for my soundless mouth

If I went away from you
After midnight
If I didn’t came back
After midnight
If I’d prefer to ignore you
Would you please forgive me?

It’s just a language of goodbye
It’s just a language of love
It’s just a language of sweet memory

We should be grateful
We have our own memory in our memory

One day
I accept as true
You’ll find me in a grey spot
Smoking
Watching you
Enjoying you
With my blurry wings
And wave you the sweetest kiss you’ve never had before

It’s just a language of goodbye
It’s just a language of love
It’s just a language of sweet memory

We should be grateful
We have our own memory in our memory

I have my own language to illustrate love
It won’t be easy
But believe in me
It won’t be that absurd
Only for things that I perfectly can’t state



Language after midnite
December 27, 2008
02.45
Kuala Lumpur

Jumat, Desember 26, 2008

Gifted


Don’t notify me you’re gifted to understand
For the reason that you don’t

You don’t have to wait until I articulate what you’ve waited
Because my eyes are gifted to inform you the whole thing
The question is, if I explained, can you assist me discover a path to go away to a place that I call ‘self’ ….

December 26, 2008
Kuala Lumpur
00.50

Benak yang sibuk

Bukan karena ku takut salah
Mestinya ini bukan ketakutan
Aku hanya sibuk merasa

Semua binar yang aku temukan dalam matamu
Membuatku resah
Kamu berhasil membuatku jengah

Aku tidak akan menduga (kali ini)
Aku tidak akan menerka apa dibalik pikiranmu
Aku memilih untuk tidak dipilih

Karena aku sibuk belajar
Belajar mencernamu

Apakah kamu masih sibuk menahan rasamu padaku?



Lanson Place Apartment
Kuala Lumpur
Bilik
Penuh otakku, isi kamu!
Jangan tanya kenapa ...
Pk. 18.49

Nol yang bulat

Aku sedang tidak bernapas dalam air
Karena duniaku hampa udara
Aku bukan kodok memang
Tapi aku punya dua kabut

Malam enggan berlayar
Aku memutuskan untuk rebah barang sekejap

Pipiku cekung kehabisan upaya
Terbunuh oleh senyum yang melengkung
Seperti semburat nyawa yang nyaris tercerabut

Aku terbelah
Sebenar-benarnya

Mulai lagi dari nol yang bulat



Lanson Place
Ampang Hilir, Street
Jumat petang, 26 Desember 2008
Pk. 17.39

Kamis, Desember 25, 2008

Ibu


Matamu lelah
Aku minta maaf karena payah

Hatimu indah
Aku bahagia bisa merasakan berkah

Kau adalah pejuang
Dan aku berjanji aku akan terus berjuang

Jiwamu adalah segalanya
Aku tidak akan usai hingga siapa nanti yang mendahului menutup mata

Ibu
Aku cinta
Cinta akan cintamu yang sederhana
Meski aku sebagai anak sering mencintaimu secara biasa
Kini aku menyaksikan kau yang luar biasa
Berdiri kokoh mendampingiku yang seperti rusa terluka
Dan kau terus hujani aku dengan miliaran bahasa
Bahwa sesungguhnya aku ini insan luar biasa

Ibu
Aku tidak bisa cakap banyak
Aku hanya ingin menyampaikan pesan yang membuat dadaku sesak

Betapa aku merasakanmu dalam segenap jiwa dan ragaku kini
Hingga napasku disatu titik nanti berhenti

(bunyi degup jantung yang berhenti)


Kamis, 25 Desember 2008
Pk. 16.55
Lanson Place Apartment – Kuala Lumpur
Dalam balutan cinta ibu!

Minggu, Desember 21, 2008

Bangsat, Delilah dan Kutil di pantat

Jidatmu benjol kejedot pintu
Aku cium, mendadak kempes
Nggak perlu aku kompres
Kamu juga cuma kasih aku senyum ’cengenges’
Aku, kamu, demen!

Badanmu bau bangsat
Aku cukur bulu ketekmu
Katamu, ”Aku bukan Samson!”
Kataku, ”Tapi aku Delilah, dan kamu bau bangsat!”
Katamu, ”Bukannya semakin bangsat aku semakin bajingan kamu?”
Kita berdua tertawa terkekeh-kekeh!

Tiba-tiba pada satu hari
Tumbuh kutil di pantatmu
Kamu mengadu padaku
”Deli...” (kependekan dari Delilah)
”Ya ...” jawabku
”Aku kok punya kutil?” katamu sambil sibuk buka celana dan memandang dengan cermat pantatmu di cermin ruang tengah kotak kardus yang kita sebut ’rumah’...
”Hah? Dimana?” tanyaku tenang
Kamu lantas menunjuk kutilmu dengan jarimu yang tinggal 4 buah ke salah satu area di pantatmu .... (karena ibu jarimu sudah kau pakai untuk mas kawin kita)
”Oh pantat!” jawabku tenang sambil tetap makan tempe goreng dan cabai
”Ini tidak nyaman!” jawabmu sambil berusaha mencabut kutil itu
Aku diam saja dan tetap menikmati tempe dan cabai
“Deli …” panggilmu lagi.
Aku letakkan cabai dan tetap mengunyah tempe.
“Apa sih?” tanyaku
“Aku mau operasi saja!” jawabmu pasti.
Aku geli, aku tahu kamu. Kamu kan cowok yang peduli penampilan. Hanya badanmu saja bau bangsat. Tapi aku cinta.
”Dan kau bajingan!” katamu sambil melempar mesra cabai rawit ke mulutku.
Hap! Aku kunyah bersamaan dengan tempe yang tinggal separuh di lidahku.

Tak lama berselang, kami berada di rumah sakit khusus kutil, dokter bertanya,
”Jadi ada masalah apa?”
”Kutil dok!” jawabmu
”Kutil? Oh ....., Anda harus melakukan rangkaian tes kesehatan dulu ....” jawab si dokter yang berjubah baju jelangkung, hitam, panjang, gelap, sok misterius ....
Pikiranku sibuk, dia ini dokter atau drakula?
Kamu sibuk dengan kutilmu dan ketakutanmu akan kutil yang mengganggu penampilan pantatmu
Kau ngeri reputasimu sebagai bangsat terganggu karena KUTIL
Jadi, dia ini, dokter ini, bangkai, manusia atau drakula?
Aku masih sibuk dengan dugaanku
“Serangkaian tes apa ya dok?” tanyamu lagi
“Yah, ada beberapa, misalnya tes darah, sudah berapa jumlah virus kutilmu dalam darah, kemudian, saya juga perlu mengambil contoh sedikit dari kutilmu, untuk tahu itu kutil tipe apa, berbahaya/tidak ....”
Aku menatap wajahmu
Kamu menatap wajahku
Ada satu tanya, ”Hanya untuk kutil? Yang ukurannya lebih kecil dari upil?”
Kita bertatapan, terkesima oleh jidat dokter itu yang menyilaukan karena jenong.

”Tapi ini hanya kutil dok!” jawabmu lagi
”Maaf ini sudah prosedur. Sudah ketetapan disini!” jawab dokter yang berjubah jelangkung arogan. Dagunya naik, matanya menyipit dengan tatapan menyelidik.
Aku tidak suka. Terbersit ragu. Tapi kamu tetap maju.
”Dan ini hanya operasi kecil dok!” jawabmu lagi, sekarang intonasi suaramu mulai gelisah, aku bisa merasakan itu.
Si bangsat terusik juga ternyata. Dia khawatir kutilnya jadi tumor mungkin.
”Loh, jangan sepelekan kutil dan asal muasal nya bos!” jawab si drakula lagi. Kali ini sambil memainkan pulpen yang dia ketuk2 diatas stetoskop berbentuk wajan.
Sayang dia nggak bawa sodet. Aku bisa sekalian menggoreng arogannya.
Aku jadikan ’balado arogan’.
Pasti lezat.

”Anda punya kutil, pasti karena latar belakang kehidupan Anda berisiko terinfeksi kutil!” jawab dokter itu lagi.
Hah?
Kali ini bikin kami berdua mulutnya ternganga-nganga. Mirip buaya lapar menanti daging segar.
Untuk kedua kalinya kami bersikukuh dalam sebuah tatapan.
Hanya satu hal yang terlintas dalam benak ...
”Benar, ini dokter drakula! Butuh darah segar sepertinya”
Kami berdua mengangguk.
”Kalian punya uang berapa? Ada uang, saya operasi, saya angkat kutilmu, dan pantatmu mulus lagi!” jawab dokter itu lagi. Kali ini dengan mata pembohong yang mengerjap-ngerjap. Silau uang.
Darimana dia tahu pantat si bangsat ini mulus? Diperiksa saja belum.

”Bagaimana kamu bisa tertular kutil?” dokter itu kembali memborbardir pertanyaan tolol.
Aku menyikut sikunya.
Memaksa dia untuk menjawab, si bangsat kebingungan.
Tersesat dalam mulutnya sendiri.
”Karena aku bangsat?” jawabmu jujur. Seada-adanya kamu. Pandir!
Dokter gila itu termangu.
”Pantas! Moralmu dimana sih?” tanya si dokter itu lagi.
Bah! Kali ini aku yang tersesat dalam jidatku sendiri. Aku atau dia yang gila?
Si bangsat sudah tidak bisa bicara.
Aku bertanya, sambil menarik tangannya.
”Bangsat! Kau taruh dimana moralmu?” sambil nyolek pantatnya yang bahenol.
Bangsat gelagapan.
”Aku nggak punya moral, moral apaan sih? Kan keluhanku, hanya karena aku punya kutil!” jawabmu polos dengan tatapan mata yang jujur.
Aku tahu, bangsat. Tapi si jelangkung sok suci ini bertanya!
”Dokter pernah punya kutil?” tanyaku balik.
“Oh, saya ini orang bermoral, sudah pasti tidak punya kutil, apalagi di pantat!” jawabnya lugas. Seperti bau kentut yang tidak berak seminggu. Super bau!
Bah!
Aku kehabisan akal.
Si bangsat semakin bengong.
Kita berdua nggak bisa berperan jadi si bangsat dan bajingan kali ini. Kami jadi semakin mirip pesakitan.
Perbincangan dengan dokter ini sudah tengik, kampret busuk!

Ternyata, banyak dokter yang memandang kutil sebagai moral. Mereka sibuk menerka ada apa dibalik tahi lalat sebesar biji jagung yang ada di muka banyak orang dan bagian tubuh manusia, dan menganggap dirinyalah yang memiliki moral.

Padahal, kutil itu barang langka.
Banyak orang kecil, punya kutil tapi nggak usil.

Kasian kamu bangsat! Kamu dianggap nggak punya moral hanya karena punya kutil.

Benar kata mereka, dunia sudah diisi oleh orang-orang yang penuh TAI lalat di tubuhnya, tanpa mengindahkan esensi dari kutil itu sendiri.

Lantas aku dan bangsatku meninggalkan ruang dokter itu dengan bekas pantat bangsatku yang berkutil dan sisa kentut ku sebagai oleh-oleh jam konsultasinya.

Sialan kamu, dok!
Tak pantas kau jadi dokter!
Otakmu penuh TAI lalat.
Kasian lalatnya.
Kau dijangkiti lalat munafik.



Lanson Place, KL – Malaysia
21 Desember 2008/Minggu
01.05 dinihari
Aku harap aku tetap menjadi kutil

Jumat, Desember 19, 2008

DESKRIPSIKAN : MURKA

Dan apa yang aku dengar sore ini tersampaikan melalui petir. Rasanya pekak dan jahanam, marahku membuncah. Aku murka,
Kau dengan seenaknya menyampaikan pesan melalui denging suara orang lain.
Dan kau hempas aku yang sudah melambung

Kau bisa bayangkan, hidup apa yang aku punya selama 1 tahun mengumpulkan kekuatan untuk bisa berada di titik ini sekarang
1 tahun yang aku kumpulkan dari sisa-sisa keraguan akan sebuah masa depan
1 tahun sekian orang berusaha meyakinkan aku bahwa ini adalah yang TERBAIK
Aku akan bisa menjadi lebih BERKARYA jika aku tetap hidup
Dan kini
Ketika aku sudah melambung
Ketika aku sudah menetapkan
Ketika aku sudah berdiri kokoh kembali menantang ketakutanku sendiri
Ketika aku sudah menangguhkan diriku untuk menaruh kepercayaan kepada tangan-tangan yang akan menjadi Tuhan dalam 5 jam
Karena nyawaku ada di tangan kamu
Kini
Dengan sebuah apa yang kau sebut birokrasi kau batalkan semua hal yang sudah direncanakan sekian bulan lalu

Kau bisa bayangkan apa rasa yang berkecamuk di dadaku sekarang?
Aku benci
Aku marah
Kalau ada kata lain yang bisa menggambarkan rasa diatas MURKA aku bisa jamin itu yang aku rasa sekarang ....
Kau permainkan ketidakberdayaanku dengan sebuah vonis
Kau tutup hari ini dengan sebuah kata ”BATAL”
Kau buat aku hancur dengan semua fakta yang kau serakkan di depan mataku
Kau buat aku lebur seperti debu
Kau buat kekokohan yang aku bangun selama satu tahun ini berserakan di mana-mana
Kau buat aku merasa sia-sia
Kau buat aku putus asa
Itu yang bahaya
Karena aku tahu aku
Ketika aku gila
Aku bisa melakukan sebuah hal ekstrim yang dahsyat

Kau tidak akan pernah tahu
Tidak akan pernah tahu
Akan pernah tahu
Pernah tahu
Tahu .....

Barangkali kau bisa bantu aku mendefinisikan MARAH?

Aku persilahkan .....

IJN Hospital, Bilik Tanjung
Jumat, 19 Desember 2008
Pk. 22.40

Kamis, Desember 18, 2008

Vonis seumur hidup



Dan aku sedang menikmati penggalan kata-katamu diperbincangan kita tadi sore
Aku masih mengutip sebagian kata di benakku
Tidak akan aku hapus

Menakjubkan (aku masih berdecak)

Aku terkagum-kagum dalam sekejap (terkejut tentu saja)

Kau mendadak sontak membuat pedih karena berpisah dari mu terobati seketika
Kau di kereta menuju suatu kota
Aku di sebuah kamar rumah sakit di negara malaysia
Dan kita berbicara
Dalam sebuah keaslian kita berbahasa

Kau ucap kata itu yang telah sekian lama aku tunggu
Kau bilang kata-kata mujarab itu yang telah sekian lama aku nanti
Kau jabarkan semua perasaanmu dalam sebuah percakapan teknologi canggih bernama internet
Meski dengan rasa ngilu, mengetik dengan rasa sakit karena lengan kiriku sudah tertancap jarum persiapan operasi, aku bertahan untuk tetap sekedar berbincang dengan kamu

Kamu tahu
Kamu memang indah
Kamu memang misterius
Kamu memang pelakon sejati
Kamu memang penikmat proses

Aku senyap dan tenggelam dalam kata-katamu
Aku hanyut hingga ke dasar telaga yang aku ciptakan khusus untuk kamu
Aku dahagamu
Dan kamu airku
Sadarkah kamu kalau kita saling melengkapi?
Meski tetap masih banyak lubang
Tetapi aku tahu, kita berdua memiliki kepercayaan,
Masih banyak waktu yang kita punya untuk sekedar membuat lubang itu terisi oleh gelak tawa dan airmata masing-masing dari kita

Kamu bilang aku itu sinar, semangat, pisau, malam, dan nada
Aku bilang kamu itu inspirasi, lagu, luka, hari dan semangat
Kita berdua sudah bicara cinta
Kemudian berikutnya kita akan bicara apa?
Aku tertawa
Mentertawakan rasa kita berdua
Bukan karena malu, tapi karena bahagia

Kau!
Sudah ku vonis bersalah.
Dikenakan hukuman seumur hidup
Karena sudah mencuri HATIKU!

Kamis, 18 Desember 2008
Pk. 21.35
RS Institut Jantung Negara – Kuala Lumpur
Bilik Tanjung, Lt 2

Rabu, Desember 17, 2008

Aku menunggu pagi datang ....


Malam tinggal separuh meninggalkan nyawanya, aku bisa merasakan embun mulai menetas, tapi rasa yang tinggal masih bernapas
Semestinya aku tidak boleh merasakan ini
Semestinya tidak
Tidak memiliki hak atasnya
Tidak memiliki apa-apa dari padanya
Hanya rasa
Hanya asa
Hanya cinta
Yang belum berjumpa

Malam mulai redup, jantungku masih berdegup, aku gugup
Menghitung waktu hingga saat dia pulang
Saat aku parkir di benaknya
Dan mesti terkikis
Oleh hal-hal yang membuat hatiku semakin menggila dan menipis
Hanya rasa
Hanya asa
Hanya cinta
Yang belum sirna

Aku menunggu pagi datang, baru aku rela merebahkan tidurku dalam kotak hidupku
Aku menunggu pagi datang, agar aku bisa menikmati cemburu yang mendadak wara wiri di hati dan pikiranku
Aku menunggu pagi datang, membiarkan kantuk menerjang, merelakan paru-paruku penuh oleh dugaan kebenaran
Aku menunggu pagi datang, hingga hari itu tiba, dan aku memutuskan untuk mendiamkan
Aku menunggu pagi datang, supaya galau sirna dan tidak menghantam bertubi-tubi ke kalbuku
Jangan, dia terlalu takut akan kehilangan, direnggut oleh rasanya yang rapuh

Aku akan diam
Sampai kau kembali
Entah kapan
Aku tidak mau tahu
Dan jangan cari aku!
Aku ingin tenggelam bersama malam



Lanson Apartment, Kuala Lumpur
Rabu dinihari, 17 Desember 2008
Pk. 03.55
Dalam rasa yang tidak bisa didefinisikan

Sabtu, Desember 13, 2008

Apa kau bilang?


Baiklah aku menyerah. Aku angkat tangan. Aku porak poranda sudah. Puting beliung sudah mencincangku habis-habisan. Aku kehabisan napas. Aku sudah compang camping kini. Puas?

Baiklah aku angkat kaki. Aku sudahi dengan banyak jeritan! Aku akhiri dengan teriakan ”bangsat!” dalam mulutku yang bungkam. Lidahku melintir. Gusiku rontok. Gigiku pecah. Kau bisa lihat siluet tubuhku menganga.
Apa katamu? Pasrah?
Bisa jadi ...
Ternyata aku bangsat!

Baiklah aku tertidur. Belajar untuk sabar. Menanti. Menghadapi. Tidak lari.
Apa kau bilang? Ikhlas?
Mungkin ....
Ternyata aku pengecut!

Aku sibuk jingkrak-jingkrak, jadi gila.
Aku sibuk berteriak, mirip pesakitan.
Aku sibuk mencabik-cabik topengku, mirip drama
Merasakan kepalsuan ini mulai menjadi magma yang dalam hitungan detik siap meledak

Ayo! Hancurkan aku! Bunuh aku! Langsung! Tancap aku dengan belatimu.
Kau bilang apa?
Cinta?
Kau bilang apa?
Sayang?
Kau bilang apa?
Kembali?
Bukan!
Ini jelas dinamit!
Ini jelas sandiwara!
Ini jelas sebuah lakon!
Kau, aku, mereka, dia, dan yang lain-lain ...
Setengah menggantung di tiang kehidupan

Baiklah aku berlari, menuju pusat bumi, mencari pelangi, mejikuhibiniu!
Baiklah aku akan menangis disana dan merebahkan jutaan emosiku yang sudah menjadi bangkai, di pelukan matahari.
Meleleh
Lumer
Lengket
Bau anyir darah
Merah seperti mawar
Dengan duri-duri yang cantik menancap tepat bertubi-tubi ke kulitku
Dan aku akan bermahkotakan sebuah tanda kegilaan
Apa kau bilang?
Liar?
Apa kau bilang?
Bias?
Lantas apa lagi yang kau bilang?
Jalang?
Aku tergelak.

Cangkang tubuhku mulai merekah, bersamaan dengan kemurkaan, bersamaan dengan gemetar, bersamaan dengan pilu, bersamaan dengan takut, bersamaan dengan pendar-pendar cahaya yang bikin bola mataku retak
Kulitku mulai retak, bubuk-bubuk kehidupan mulai menguap, serpihan napasku mulai menipis
Dan aku limbung
Dan aku jatuh berlutut dengan diguyur hujan hitam kelam
Dan aku menangis dengan tangisan yang tak pernah aku tangisi sebelumnya
Rasa yang paling kental tercium oleh nadiku adalah takut
Wajahku bersimbah lendir
Tubuhku lumat oleh kehitaman yang legam
Apa kau bilang?
Mati?
Mungkin
Apa kau bilang?
Tetaplah hidup?
Mungkin

Aku telah memintal ribuan asa dalam balutan awan
Itu belum menjadi sebuah lukisan
Aku belum selesai mengecat langit
Perjalananku mestinya belum usai

Aku masih tetap ingin mengecat langit ....

Sabtu, 13 Desember 2008
Pk. 16.05 WIB
Sumber inspirasi:
Nawi yang akan segera kutinggal.
Gitar dan tamborin yang berisik di dapur
Bangku usang di pelataran kantor
AC yang membuatku sejuk
20 manusia-manusia hebat di Nawi
Serta ’luka’ yang kini entah dimana
Sampai jumpa lagi! Dikehidupan yang lain?
Mungkin!

Jumat, Desember 12, 2008

September, April dan Agustus (3 periode waktu)


Dan aku kembali tersayat ketika melihat kamu datang sore tadi. Menatap matamu yang nanar itu seperti menampar wajahku dengan jutaan rasa bersalah. Mestinya kita tidak perlu bersama dari awal jika akhirnya mesti seperti ini, kembali menorehkan luka kepada hidup seseorang bukanlah hal yang ingin sengaja aku lakukan, menyentuh hidupmu dengan diriku juga bukan sengajaku.

Aku tahu kau datang untuk melepasku pergi, karena esok kau juga pergi.
Aku paham isi kepalamu, hatimu, emosimu, egomu, sebagai seseorang yang pernah menjadi pasanganku.
Aku membaca itu semua dari intonasi suaramu, gerak gerik tubuhmu, betapa kamu ingin terlihat ’terkendali’ dihadapanku.
”Jangan!” batinku .... ”tetaplah menjadi kamu” bisikku ...
Tiga tahun kita bersama bukan waktu yang sebentar untukku. Dengan kebersamaan dan keintiman yang dalam kau cukup membekas dalam hidupku.

Dan aku dengan sabar (kali ini) mendengarkan celotehmu, tentang hal-hal baru dalam hidupmu, tapi (kali ini) aku tahu kau berbohong.
Kau sesungguhnya sangat gelisah. Kau sesungguhnya marah. Kau sesungguhnya belum menerima perpisahan kita. Kau sesungguhnya memendam dendam.
”Kamu dendam kepada saya?” tanyaku pelan
”Ya!” jawabmu
”Apa yang kau dendam?” tanyaku lagi
”Entah .... jangan tanya itu ke saya” jawabmu lirih
Aku menarik napas panjang dan dalam.
Mengapa kau tidak mengerti juga?
”Kamu tahu, ketika beberapa minggu lalu kamu menemani saya hingga tertidur di ruang depan? Ketika saya dilanda ketakutan, kesepian, yang teramat sangat dan kamu hadir jam 2 pagi di depan pintu rumah saya?” tanya saya perlahan.
Kamu mengangguk.
”Ketika pagi saya terbangun saya tersadar dan paham bagaimana sesungguhnya perasaan saya ke kamu.” Aku menatap lekat bola matanya yang mulai menjadi kepingan kaca.
”Dan apa itu?” tanyamu penuh rasa ingin tahu. Aku menunda menjawab hingga kau selesai menyulut rokokmu itu.
”Bahwa porsi kamu dalam hati saya adalah sebagai teman. Sebagai sahabat. Kamu selalu bisa diandalkan untuk menjadi teman saya.” aku tahu jawabanku akan memecahkan kepingan kaca di matanya.
Dia mengangguk.
”Ya .... saya juga merasakan hal yang sama. Ketika paginya saya pulang, saya sadar tidak memiliki listrik itu lagi ke kamu.” jawabmu pelan.
Kali ini aku mencoba telusuri kebenaran kata-katamu melalui matamu.
Ah! Kamu pembohong besar!
Jangan tanya bagaimana aku bisa tahu, aku tahu karena aku bukan orang baru dalam hidupmu.

Aku menyenderkan punggungku pada kursi, menarik napas sekali lagi, menyulut sebatang rokok dan menikmati pemandangan yang akan aku kenang sepanjang sisa waktuku.
Kamu.
Kamu yang terluka.
Kamu yang dendam.
Kamu yang marah.
Kamu yang belum mengerti.
Kamu yang merasa bahwa kita tidak ada masalah.
Kamu yang penuh cinta kepadaku.

”Kamu sudah punya pacar lagi?” tanyaku mengalihkan pembicaraan.
Kamu tersenyum getir. Jarimu memainkan batang rokok, kau putar, kau hisap, kau hembus.
”Apa sih arti pacar?” tanyamu padaku.
”Entahlah. Mungkin seseorang yang sedang dekat denganmu saat ini?” jawabku lagi.
Kamu menatapku dan berusaha menemukan kata ’cemburu’.
Aku beku.
”Ada .... beberapa!” jawabmu, masih mencari kata ’cemburu’.
Kau tidak akan temukan itu dari aku.
Kata ’beberapa’ itu mengusikku, celah untuk berbohong. Aku tersenyum.
”Baguslah ..... ” jawab aku tenang sambil menepuk kakinya perlahan.
”Saya ikut senang.” jawabku lagi.
Kata ’beberapa’ itu sesungguhnya bukan kamu.
Kamu itu pencinta kesetiaan.
Kamu itu pengagum absolut.
Kamu itu memuja tunggal.
Tak mungkin kau punya ’beberapa’.

”Baik-baik disana!” katamu.
Aku mengangguk.
”Aku nyatakan sebagai laki-laki, kita resmi berpisah sudah.” katamu lagi.
Aku mengangguk untuk yang kesekian kali. Mencari kebenaran dalam katamu. Dan kali ini aku temukan itu.
Hatiku pedih seketika. Luka itu kembali terkoyak.
Menghadapi perpisahan memang bukan perkara mudah.
Aku bersamamu, kamu bersamaku.
Selama 3 periode tahun.
Sudah menjadi sebuah kebiasaan.
Bukan cinta.
Aku harap kamu paham itu.

”Apakah kamu masih sanggup berteman dengan saya?” tanyaku padanya.
”Aku harap begitu.” jawabmu.
Hening.
Wajar.
Bisu.
Perih.
Lega.
Usai sudah, episode aku dan kamu.
Aku resmi menjadi ’sendiri’.
Aku dengar itu dari mulutmu langsung.

Kita berdua saling melepas diri dengan ’hanya’ tatapan mata.
Ada luka menganga di matamu.
Ada luka terbuka di dadaku.
Dan kamu cium pipiku lama.

Maafkan aku ....
Telah mampir dalam hidupmu
Telah menciptakan mimpi barumu
Telah menorehkan belati dalam cintamu
Maafkan aku .... sekali lagi
Ini bukan sengajaku

Kita hanya dua manusia yang memiliki mimpi hidup yang sangat berbeda
Laksana minyak dan air, tak mungkin bersatu

Ambil momen penuh luka ini sebagai lembaran baru dalam hidupmu
Bahwa kau akan menemukan seseorang yang jauh lebih baik dan tepat sesuai kebutuhanmu
Raih dia seperti kau meraih hari-harimu sepeninggalku
Kau tak mungkin ku lupa
Laki-laki penuh kebaikan yang pernah aku punya

Ini titikku
Ini keputusanku
Ini sudah menjadi ketetapan hati dan pikiranku

Jika kita bersama, kita hanya mengawali sebuah akhir

Amaris,
Jumat dinihari, 12 Desember 2008
Pk. 01.43 WIB
Dalam pemulihan

Rabu, Desember 10, 2008

Perkara


01.05 WIB
Jam 1 dinihari, dikamar yang aku bayar tadi senja, berharap bisa menemukan bayangan diriku disini.
Bertemankan orang-orang yang sedang tidak aku inginkan berada disekitarku, aku sibuk mencari denting piano di isi otakku, tapi yang kutemukan malah suara2ku sendiri yang hilir mudik seperti semut mengangkut bangkai.

Jariku sibuk mengetuk huruf-huruf, matakuku sudah merah dan sedikit bengkak akibat daun kering yang kubakar, ada tenang, ada halusinasi yang berujung pada rasa lapar.

02.18 WIB
Benakku penuh, mataku belum lelah meski mulutku terus menguap, yang ada hanya hembusan asap rokok, sahabat terbaikku saat ini.
Perasaanku tumpul. Banyak bayangan melintas, liar, hilir mudik.
Ketakutanku kian memuncak dan aku tahu aku tidak berdaya.
Jadi kubiarkan ia merajalela kali ini, aku sama sekali membiarkan semua rasa masuk hingga nyerinya hingga ke tulang rusuk.

Punggungku kaku, napasku terasa kian sesak. Aku belajar sabar. Aku belajar ikhlas.
Dan mengapa itu menjadi dua hal yang terasa sangat sulit?

03.10 WIB
Dan meledak sudah. Dan menangis sudah. Air mataku terburai. Basah.
Melumatkan wajahku yang kuyu karena kelelahan yang berkepanjangan.
Dikala diri ini sudah tidak sanggup lagi berdiri diatas kakiku sendiri. Butuh sandaran. Tapi aku tidak ingin bersandar. Aku tidak sanggup lagi berpura-pura untuk menjadi si super.
Aku letih sendiri dan menanggung ini semua.
Aku ingin merobek topengku. Aku ingin menjerit dan memuntahkannya.
Aku ingin melukai tubuhku seperti sebelum-sebelumnya.
Aku ingin menghancurkan diriku sendiri.
Aku ingin mencabik-cabik sisa-sisa pertahananku.

Mestikah aku pasrah menghadapi hari itu?
Hari penentuan?
Ketika ada tangan-tangan manusia yang nantinya akan berperan menjadi Tuhan?
Dan mengobrak abrik diriku?

Aku terbungkus oleh sebuah keganjilan yang diciptakan rasaku sendiri
Seperti mengabdi pada sebuah kefanaan.
Menghamba pada sesuatu yang sifatnya absolut.

Kali ini kemana lagi aku mesti mengadu?
Jika aku merasa bahwa ini ada perangku sendiri
Bukan perkara menang atau kalah
Tapi ini perkara aku akan hidup atau mati?


Amaris,
Rabu, 10 Desember 2008
Pk. 03.20
Dalam kesendirian ....

Tiga hitungan


Pertama aku lihat kamu
Mataku sudah nanar
Matamu juga

Pertama aku suka kamu
Pikiranku sudah mulai gelisah

Setelah 8 tahun
Setelah ribuan hari itu
Dan milyaran detik itu
Aku merasakan sesuatu yang telah lama aku bunuh

Kau pikir aku ingin ini?
Tidak
Ini adalah sesuatu hal yang sangat aku tidak inginkan untuk datang
Si rasa yang tak diundang itu
Telah hidup kembali

Kecemasanku terjawab sudah

Aku telah jatuh rasa

Kepadamu

Dan semoga penjelasan ini menjawab semua
Mengapa aku begini

Jangan tanya mengapa
Karena aku pasti tidak sanggup menjelaskan
Pahami saja

Kini
Aku pergi

Aku persilahkan kamu untuk memilih
Untuk tetap menanti
Atau pergi

Karena aku sudah tahu jawaban untukku sendiri

Bahwa aku akan tetap menikmati untuk mencintaimu
Hingga tarikan napasku yang terakhir

Kini aku ulang kembali kata-katamu tempo hari
Sampai jumpa lagi
Ketika aku sudah menjadi ’apa-apa’
Dan ’bukan siapa-siapa’ seperti sekarang ...

Hitung aku dalam detak napasmu
Biar ku tinggalkan jejak untuk mu

Satu
Aku suka kamu

Dua
Aku sayang kamu

Tiga
Aku cinta kamu

13 November 2008
Nawi selalu nawi sumber inspirasi

Jerit dimatanya


Ada dusta dimatanya, terlihat kelam. Ia bilang ia baik-baik saja dan bisa menerima keputusan itu, tapi aku tahu dia berbohong. Ia berdusta. Atas nama cinta yang ia usung sejak pertama kali kami bertemu.
Pipiku ada lelehan air mata. Terluka karena melukainya. Tapi aku tak sanggup menyimpan sesak itu begini lama. Aku tidak ingin meledak hebat dan membuat ia mati.

Hanya matanya yang nanar itu yang tersisa menatapku dalam.
Kali ini ia tidak mengusap lelehan air mata dari pipiku.
Aku bisa melihat tubuh ringkihnya bergetar menahan emosi.
Aku larut dalam kesedihanku.
Apakah ini sudah menjadi ucapan selamat tinggal?

Perasaanku campur aduk. Ingin sekali menggunakan logika. Tapi tak sanggup.
Satu-satunya teknis yang aku lakukan adalah berhenti menangis dan mengambil napas.
Dialog dini hari antara aku dan pasanganku terasa begitu lama.
Karena ada jeda.
Ada hening.
Ada desah amarah.
Ada kata-kata yang ingin dimuntahkan tapi rasa mual itu tak kunjung usai.
Sakit.
Berulang kali aku menggigit bibir menahan pedih.

Waktu seperti berjalan lama. Ingin sekali aku rebah dalam pelukan malam.
Tapi melihat langsung ke bola matanya aku tahu aku melukainya.
Tapi aku lebih tidak sanggup lagi melukai diriku sendiri dengan mempertahankan hubungan ini.
Aku menginginkan yang terbaik untuknya.
Dia patut mendapatkan yang terbaik.
Lebih baik dari aku.

Lebih baik ia sakit sekarang, daripada nanti
Ketika ia akhirnya sadar, bahwa aku bukan perempuan yang sesungguhnya dia butuhkan
Dan ketika aku sudah berubah menjadi perempuan yang berbeda
Karena sudah tenggelam oleh keinginannya sendiri untuk memiliku

Aku paham tubuhnya menjerit
Aku paham matanya berteriak, ”jangan tinggalkan aku!”

Tapi ini sudah titik ku
Sudah ujungku

Maka aku berpaling
Dan melepaskannya
Meski aku tahu, aku juga hancur karenanya

Catatan hidup di Agustus 2008

Sabtu, Desember 06, 2008

Dua bola salju dan satu bara api


Kemarin malam suasana agak panas, karena ada kompetisi disana. Ketika aku berada di antara dua bola salju yang dua-duanya memiliki listrik kepadaku. Aku tidak sengaja dan tidak berniat menerima kejutan ini, tetapi hal itu terjadi yang pada akhirnya aku biarkan. Apa sesungguhnya yang akan terjadi ketika ada dua bola salju dan kamu berdiri sebagai bara api yang siap melumerkan kedinginan mereka?

Aku memperhatikan keduanya. Mata keduanya. Bahasa tubuh keduanya. Perlakuan keduanya.
Benar kata perempuanku, mereka punya listrik sekian watt dalam kandungan dan kadar kebekuan yang berbeda.
Aku jengah.
Beberapa waktu menjelang aku mulai mencium bau tanda tanya, kemudian cemburu dan berakhir pada kompetisi.
Aku jengah.
Masing-masing bola salju itu saling bertukar cerita kapan mulai kenal aku, dimana bertemu aku, kemana saja satu hari ini bersama aku. Seperti sebuah kegiatan monitoring, pikirku.
Aku perhatikan dengan lekat raut wajah masing-masing bola salju. Ada yang semakin beku dan ada juga yang tetap tenang bersikap.
Aku tambah jengah.
Aku merasakan bola salju itu lumer. Ada cemburu yang terbuka disana.
Perempuanku sibuk mengatakan banyak hal kepadaku, seperti, ”Kamu tahu dia tertarik padamu?”, aku lantas menggeleng. Tahu atau tidak aku tidak peduli. Karena aku tidak tertarik. Tidak lama, perempuanku kembali membuat pertanyaan, ”Apa maksud dia bilang ke kamu barusan? Kalau jiwa dia sakit? Sepertinya dia marah melihat ada bola salju lain disini.” aku mengangkat bahu dan menghisap dalam rokok yang sedari tadi menguap di bibirku. Aku bingung. Persoalan rasa dan ketertarikan seseorang kepadaku semestinya bukan menjadi masalah. Tapi kali ini buatku menjadi masalah. Aku lelah.

Masing-masing dari bola salju itu memperlakukanku dengan cara yang sangat berbeda.
Yang satu penuh dengan kontrol dan tidak ragu menunjukkan ketidaknyamanannya atas kehadiran bola salju yang lain.
Sementara bola salju kedua menyikapi semua hal ini dengan tenang dan canda yang manis.
Perempuanku kembali bernyanyi, ”Kamu perhatikan bola salju pertama! Sekarang! Lihat matanya!”
Dan aku melihat mata itu. Ada suka. Ada nilai yang dia langgar untuk hatinya padaku.
Aku buang wajahku jauh-jauh dari mata itu. Bukan ini yang aku inginkan.
”Sekarang kamu lihat mata bola salju yang di kiri kamu!” kata perempuanku lagi.
Dan aku menoleh ke kiri dan mendapati dia sedang menatapku dalam.
Ada binar. Ada rasa yang dipendam lama.
Ada banyak kata yang tak sempat diucapkan.
Padahal kami sudah kenal lama dan dia ternyata ingat betul tanggal, hari dan tahun kita pertama bertemu. Aku takjub, karena aku lupa. Bukan karena aku suka.
Dan aku tersenyum getir ketika dia mengalihkan pandangan matanya dari mataku.
Perasaanku ternyata tetap beku. Mataku mungkin terlihat jalang untuk banyak orang, tetapi bagi yang sudah mengenalku, mereka pasti tahu hatiku telah ku titipkan dimana. Kali ini, mau ada seribu bola saljupun aku yakin aku tidak bergeming.
Tidak sekalipun aku berusaha untuk mencicipi manis dan bekunya bola salju seperti yang sudah-sudah. Tidak lagi merasa tertantang untuk menaklukan sesuatu dari mata dan ego mereka sebagai bola salju.
Kali ini aku lebih tenang. Kali ini aku mulai paham. Dan kali ini aku bisa mengukur. Kapan dan bagaimana kondisi hatiku sendiri.

Ketika malam mulai semakin turun dan mataku mulai sayup, saat ketika aku ijin menyudahi malam bersama mereka, bilang sampai jumpa, dan ketika dua pasang mata penuh makna itu mengatakan banyak hal padaku, aku yakin aku semakin menutup jendela hatiku.

Perempuanku menyentuh bahuku perlahan, ”Aku suka kamu dikagumi banyak bola salju. Kamu begitu diinginkan!”
Dan aku tergelak serta membalasnya dengan menyentuh hidungnya sambil mengatakan, ”Ah masa? Kemarin kau murka kepadaku karena kau merasa pacarmu tertarik padaku melalui bukti yang kau tangkap dari sinar matanya ketika melihatku?”
Perempuanku lantas tertawa lepas.

Dan kami berdua tutup dinihari tadi dengan berbaring di ranjang sambil membicarakan kedua bola salju tadi.

Aku tersenyum dan merasa menang. Kali ini aku sungguh-sungguh tahu hati dan pikiranku bilang apa tentang sesuatu.

Puri Dewa Bharata
Seminyak-Bali
Sabtu, 6 Desember 2008
Pk. 11.25 WIT

Kamis, Desember 04, 2008

Aku mau aku


Aku tahu aku lelah, tapi tubuh ini tidak atau belum mau menyerah, mataku belum ingin terpejam, padahal kelopak mataku sudah mulai layu. Yang aku pikirkan hanya debar jantungku yang kadang cepat dan sering melambat atau kadang-kadang terasa seperti mau lompat.

Segala jenis bentuk tanda tanya mondar mandir di kepalaku, ada, kenapa, bila, apa, kok, begitu, ya, maksudnya, tidak, iya ya, oh sampai ke owyeah?
Tapi tetap saja bibirku rajin mengepulkan asap rokok dan jariku tetap sibuk menjentikkan abu rokok ke asbak yng terhampar di seprai kasur hotel.

Hari ini, melalui hari seperti jet coaster. Naik turun, putar balik, cepat dan berhenti di titik hampa. Kembali ke malam. Ketika sore menutup usianya dan aku langsung masuk ke relung yang seringnya kulupakan, intropeksi.

Kucoba petik senyap, dan kugantung di laci hatiku, ku kunci, ku simpan dan disemayamkan disana. Apakah perlu di kafan? Di bungkus koran? Atau di jemur seperti ikan asin? Atau bahkan dibakar saja biar tidak ada kenangan akan kuburan?

Tidak juga.
Aku tetap disini.
Sendiri.
Memendam sepi dan menikmatinya.
Perih memang.
Tapi kubiarkan semuanya mengambang bersamaan dengan gabus lilin yang terapung di gelas teman aku makan malam tadi.

Ingin usai, ingin damai.
Ingin bebas, biar lepas.
Ingin diam, ingin terpejam.

Aku ingin aku.


Seminyak-Bali, 4 Desember 2008
23.50 WIB
Kamar hotel yang menyeramkan

Rabu, Desember 03, 2008

Iya, kamu itu lintas dimensi!


Iya, kamu abstrak, kamu itu mentah, kamu itu seperti suling yang berbunyi nyaring ketika sore mulai menjelang, ketika angin mulai berhembus pelan di pelataran hidupku.

Iya, kamu manis, kamu itu buah kelapa, yang air dan dagingnya bisa ku tenggak dan kukunyah sesukaku, kamu kelapa muda, gurih, lezat dan sekaligus nikmat.

Iya, kamu indah, kamu itu lukisan pagi dengan mentari yang malu-malu muncul ketika subuh menjelang dan ayam jantan mulai berteriak dengan lagaknya yang sempoyongan karena habis bercinta dengan betinanya dinihari tadi.

Iya, kamu itu seperti mangga harum manis, ranum, harum, empuk, buah kesukaanku yang akan menemaniku nanti ketika aku memilih untuk menggunakan rahimku sebagai media memproduksi seorang manusia yang diawali dari embrio kemudian bayi.

Iya, kamu itu alunan musik, yang senantiasa bergema di kepalaku tanpa kenal waktu, kenal lelah, kenal denyut, kenal nama, kenal jenis kelamin, kenal seksualitas, kamu itu segalanya

Iya, kamu itu lintas dimensi. Yang saat ini sedang menjadi penguasa dalam keseluruhan diriku. Terus saja kamu melintas di kepalaku, mataku, benakku, hatiku, darahku, birahiku, membayangkan kamu seperti membayangkan adam dan hawa pertama kali bercinta.
Apakah cara mereka bercinta sama dengan gaya kita bercinta? Yang membuat semua benda disekeliling kita berbunyi dan berantakan?

Iya, aku yakin kini, kamu sudah mulai menjelma menjadi sosok yang selama kurun waktu 8 tahun terakhir aku bunuh.

Iya, aku masih pada titik menyangkal dan belum ingin dimiliki dan memiliki.

Iya, aku masih ingin menjerit dalam hatimu dan malahap seluruh tubuhmu ketika malam hadir.

Iya, aku masih ingin kamu meyakinkan aku bahwa perasaanmu juga sama seperti aku merasa ke kamu.

Pertanyaan adalah, bilamana hal itu terjadi?
Sebelum atau sesudah aku merdeka dari kehidupan?


Rabu, 3 Desember 2008
Selalu Nawi, kotak kecil istanaku
Pk. 15.43 WIB
Dalam rasa yang beranjak tumpul

Selasa, Desember 02, 2008

Asumsi liar


Lalu lalang, malang melintang, deras, keras, cepat, aku takut. Berusaha merejam, dengan mata terpejam, kepal tangan tergenggam, mulut terkatup diam, dan berusaha menghadapi ketakutanku, sendiri, disini, tanpa kamu.

Sesak, keras, melesak masuk kedalam sanubari yang memang sudah renta dimakan masalah yang kronis, semakin membuat jantungku berdetak cepat dan mengurangi jatah oksigen masuk ke paru-paruku.
Kepalaku penuh oleh bayangan-bayangan yang menyakitkan.
Asumsi.
Aku coba lawan.
Lawan.
Tidak kuasa.
Aku dibakar rasaku sendiri.

Liar, melintas, bebas, lepas dan semua menjadi bias.
Napasku kian meronta di kerongkongan
Gigiku gemeletuk
Mataku membelalak dan terpejam
Lagi, lagi dan lagi
Asumsi itu semakin liar, merajalela, menguasai hati dan pikiranku!

Maaf, aku tidak sanggup melawannya
Terlalu deras arus yang datang
Aku tidak bawa dayung
Aku kehilangan haluan
Aku pilih untuk menenggelamkan diriku saja

Dan biar sisa hari yang membunuhku perlahan

Selasa, 2 Desember 2008
Nawi
14.19 WIB
Dalam penjara asumsi