Senin, Juni 29, 2009

*kain perca*

Tenang saja, jangan berteriak, aku disini
Tenang saja, tidak perlu memaki, aku dengar dengan baik
Tenang saja, kamu tidak membutuhkan marah hanya untuk menyampaikan pesan
bahwa sesungguhnya kamu terluka oleh dustanya hingga lukamu juga ingin kau toreh ke mata hatiku
Sebaiknya kamu tahu bahwa aku tidak mudah goyah

Tenang saja, aku tidak akan berbalik menjerit, aku mulai paham siapa kamu
Lihat saja aku, yang tetap menggenggam keyakinan, bahwa kebenaran akan datang
Meski bukan melalui dia, tetapi melalui lidah bercabangmu yang siap menghunus

Tenang saja, buang jauh kepanikanmu, aku telah siaga
Mungkin kali ini aku tidak lagi hanya sekedar menyapa
Bisa jadi detik ini aku sudah tiba pada titik beku yang hampa

Berharap saja aku akan tetap biasa
Karena ini sudah aku yang luar biasa

[melalui jeda]
...
[melalui teropong waktu]
...
[jendelanya telah robek]
...
[tak perlu kau bantu jahit]
...
[karena kali ini aku menikmati kain perca yang dia sajikan]
...

Kubah kubus
29 Juni 2009
00.14 WIB

Sabtu, Juni 13, 2009

Bukan [seksi]

Ini bukan tentang bagaimana menjadi seksi
Melainkan bagaimana membangun diri sendiri
Menjadi manusia yang terkendali

Ini bukan karena aku terlalu sering menggunakan otak kiri
Tapi aku manusia yang tidak butuh ambil peduli
Dan semua opini aku anggap sepi

Aku paham bahwa semuanya dalam hidupku hanya sebuah konsep yang terkontruksi
Yang aku perlukan hanya waktu dan jeda untuk mendekontruksi
Mesti
Kali ini

Aku tidak perlu menjadi terkini
Aku bukan manusia yang terbiasa diadili

Mesti
Kali ini
Bukan tentang bagaimana menjadi seksi
Melainkan bagaimana membangun diri sendiri
Menjadi manusia yang terkendali


Setiabudi, Bandung
03.00 pagi
130609

Rabu, Juni 03, 2009

LUNAS

Aku tidak tahu persis, dan juga tidak mau tahu dengan persis
Seperti apa sesungguhnya kejadian yang sebenar-benarnya terjadi
Aku aneh, kamu gila,aku berisik, kamu bisu, aku buta, kamu tuli

Telanjang berdua dengan semua kegilaan yang menelan kita bulat-bulat
Tenggelam dalam dunia masing-masing dengan frekuensi yang berbeda
Kamu, aku, mirip

Katakan padaku apa ini namanya?
Jeda?
Mungkin
Solusi?
Bisa jadi

Yang jelas aku masih meredam dendam
Dendam yang entah kapan bisa kau lunasi

Katakan padaku apa ini namanya?
Murka?
Mungkin
Dusta?
Benar!

Kamu telah membayar lunas apa yang terjadi di antara kita berdua dengan satu kata
LUKA

Lima melalui satu dinihari
Tabung waktu yang kedap kamu

Mantra


Menatapnya menggenggam setumpuk daun kering yang berwarna kecoklatan seperti menikmatinya dengan ritme napas setiap dua ketukan

Kemudian aku mulai mendengarkan dia bergerak melalui desau angin yang melaluiku tanpa sedikitpun hirau, aku membiarkannya berlalu
Tidak pernah jemu

Sekalipun dia hinggap di ujung mataku itu hanya satu kejap, bukan sapa, kemudian dia akan membuatku hilang di kornea matanya yang hitam
Seperti pusaran air, deras dan menghisapku hingga tandas

Jelas ini damba yang nyata
Menikmatinya tanpa seuntai dusta
Keinginan yang lebih tinggi dari hanya sebuah kata
Belum cinta, baru rasa

Menangkap bayangannya dibelakang tubuhku sendiri
Tanpa mahkota
Tanpa sayap
Tanpa tongkat ’abrakadabra’
Tanpa mantra
Cuma sehelai dia

Terbungkus plastik
Masih berwarna abu-abu
Belum bening

”belum” katanya
”nanti” katanya
”aku masih ingin menggulung ombak dalam selaput mimpiku” katanya

Jelas ini maklumat
Aku khidmat
Dan aku hormat

*Seperti menangkap bayangannya dibelakang tubuhku sendiri


Kubus
00.50 WIB
Belum bening, masih berwarna