Sabtu, Februari 28, 2009

Fatamorgana, ada apa?

Kau tikam mereka dengan jutaan sembilu, membuatku terhenyak hingga ke dasar kesadaranku.
Kau buat mereka sesak bernapas dan bersuara meski untuk naik satu nada.
Kau cekik mereka dengan jeratmu yang berbisa, membuatku silau.
Kau itu fatamorgana.
Ada apa?

Kau hilir mudik antara utara dan selatan, mampir sebentar di tenggara, menyampaikan salam pada pucuk es yang menjulang.
Kau bilang, “Petualangan ini belum berhenti.”
Aku tanya, “Mengapa?” lalu kau dengan tenang menjawab bahwa,
“Aku belum puas!”.
Kau membuatku menghela napas untuk yang kesekian kali tidak terdaftar dalam benak.
Kau itu tidak pernah cukup.
Ada apa?

Kau rebah berulang kali karena pilu cekam. Hujat bibirmu buat mereka adalah candu.
Kau sadar itu bukan?
Dan terus kau ulang, terus kau ulang, lagi, lagi dan lagi.
Kau itu lara.
Ada apa?

Tatap matamu jalang, membius!
Lidahmu indah, meronta!
Sentuhanmu, memabukkan!
Kau sadar, jeratanmu muslihat?
Kau itu mawar hitam.
Ada apa?

Fatamorgana, bilamana kau menjadi merah merekah?

(aku melihat tubuhmu menekuk menjadi cangkang)
(desah suara merekah)
(...senyap...)
(ternyata benar kau fatamorgana)


Rumkupkup, Santa
28 Februari 2009
Pk. 17.13 WIB
Dalam kelelahan yang telah berujung
Untuk perempuan bernama Anandya!

Selasa, Februari 24, 2009

Aku tidak ingin menjadi kamu!

Aku tidak ingin menjadi kamu. Aku tidak mau merasakan apa yang kau rasakan saat ini. Melihatmu merintih setiap saatnya karena satu kata, cinta. Aku tidak tahan.
Kau pikir aku lega melihatmu sedikit menangis, sedikit marah, sedikit mengumpat, sedikit tertawa, sedikit mesra, dan banyak sekali kompromi.
Akan satu kata itu, cinta.

Aku tidak ingin menjadi kamu. Sedu sedanmu membuatku remuk redam. Bagaimana aku bisa menepikanmu? Logika dan hatiku sudah tidak bersahabat dengan apa yang kau rasakan. Berkali-kali aku nyatakan dalam benakku, otakku, relungku, bahwa aku tidak akan pernah mau berada dalam posisimu. Berkali-berkali jua kau ingatkan aku bahwa ”apa yang kau tentang akan semakin kuat menerjang”. Aku hanya tersenyum meringis.

Aku tidak ingin menjadi kamu. Tubuhku kerap kali bergidik setiap kali melihatmu terluka karena satu kata itu, cinta.
Kau coreng ingatan lamaku akan sebuah pengabdian ketika merasakan satu kata itu, cinta.
Sekian lama aku hujat dia dan haramkan dia untuk hadir dalam hidupku.
Kini kau keranjingan itu.

Aku tidak ingin menjadi kamu. Karena aku sayang kamu dengan sepenuh hatiku. Aku tidak pernah berkomentar banyak, karena aku paham, untuk orang-orang sepertimu hanya melalui itulah kau mengalami pembelajaran.
Karena aku menghormatimu dan teritorimu maka aku kejamkan niatku untuk menghalangimu merasakan satu kata itu, cinta.

Aku tidak ingin menjadi kamu. Hanya karena satu alasan. Aku pernah menjadi kamu. Aku kenal satu kata itu, cinta. Dan aku tahu betapa gilanya satu kata itu.

Aku urungkan niatku untuk mengumpat. Aku urungkan niatku untuk mematahkan lidahmu yang kelu. Aku urungkan niatku untuk memelukmu ketika kau hujani wajahmu dengan air mata. Aku urungkan niatku untuk menyatakan padamu bahwa cinta dan benci itu saling mencari.

Endapkan baik-baik. Cerna satu kata itu dan daur ulang.
Kemarahan ini bukan untuk kamu. Melainkan untuk kalbuku.

Aku tidak ingin menjadi kamu. Hanya karena satu alasan. Aku pernah menjadi kamu. Aku kenal satu kata itu, cinta. Dan aku tahu betapa gilanya satu kata itu.

(suara pisau di toreh diatas pasir)
(sebuah maklumat)
(satu kata itu, adalah c.i.n.t.a)




24 Feb 2009, 22.31
Rumah boneka yang akan segera berdebu.
Untuk perempuan bernama Virga!

Minggu, Februari 22, 2009

Mengupas

Barusan aku ‘mengupas’ mu
Terbungkus penuh debu dalam gulungan kardus
Ada aku dan kamu disana, sedang tersenyum
Mungkin sisa-sisa kebahagiaan palsu yang kita pernah miliki

Barusan aku ’mengupas’ mu
Perih masih membekas
Bibirku sempat berdesah dan terlintas untuk sekedar menyapa ’hai’ melalui pesan singkat
Kuurungkan niatku, percuma, pikirku.
Hanya ’mengupas’ luka lama

Barusan aku ’mengupas’ kita
Hingga robek dan mestinya aku cabik
Karena sudah tak guna
Karena kita sudah tak bersama

Barusan aku ’mengupas’ aku
Kosong, sendiri, tetapi menenangkan
Telanjang memang
Perihnya tidak lagi perih seperti awal kita berpisah

Barusan aku ’mengupas’ kita
Untuk sekedar ucap selamat tinggal
Dan sambut masa yang akan datang
Kamu dan aku telah berlalu
Cerita dahulu
Jangan sentuh hidupku dengan dirimu
Aku sudah menetapkan dan tak akan ada kata kembali, meski itu kamu!

Rumah Boneka
Minggu malam, 10.21
Dalam tumpukan barang yang baru aku kupas!

Kamis, Februari 19, 2009

Leluasa dan sulit dihentikan

Aku merunduk dengan hati yang tersenyum
Kepalaku mendongak dengan telinga yang terbuka
Kepalan tanganku menguat dengan jemari yang lentur
Kakiku kupijak pada bumi dengan satu keyakinan yang mulai utuh


Logikaku siap mengurai kamu
Kini sama sekali tak gentar
Surut bukan aku sama sekali
Kapasitas maaf dan cinta semayam selamanya
Disini

Waktu direntang semesta yang akan menjawab
Aku atau kamu yang akan bertahan
Kegelisahanmu melalui umpatan naluri dilidahku terasa begitu manis
Tidak tahu aku, kamu?

Kesepakatan telah aku jalin di sini, di lubuk hatiku
Siap atau tidak aku akan menjemput kamu
Siap atau tidak aku tahu kita bisa menjadi satu
Sebaiknya kau mulai mengatur strategi bagaimana menghadapi aku kelak
Karena aku leluasa dan sulit dihentikan

19 Februari 2009
07.39 pagi
Ditengah keyakinan yang mulai mengerucut pasti

Selasa, Februari 17, 2009

Pendua atau didua?

Sama saja
Rasanya
Aku melakoni itu semua

Hanya cinta atau seksnya saja
Sama saja
Rasanya

Tanya setia atau hampa
Sama saja
Rasanya

Tetap semu belaka

Nawi, 11.25 WIB
17 Februari 2009

Minggu, Februari 15, 2009

Cinta pertama

24 jam sebelum bertemu kamu, aku sudah gelisah tidak menentu.
Menanti dengan harap-harap cemas seperti apa rupamu nanti.
Apakah aku akan mengenalimu?
Apakah aku bisa merasakan semua emosimu?
Apakah aku bisa menjadi saksi dari sejarah masa lalu?
Dan sekian pertanyaan yang mulai hilir mudik dalam benakku.

Beberapa jam sebelum ketemu kamu, perutku sudah mulas, aku diserang panik.
Entah mengapa, menjumpaimu seperti menjumpai pacar cinta pertama.
Aku bisa merasakan detak jantungku kian cepat dan napasku memburu sepanjang perjalanan ke tempatmu.
Aku bahkan secara tidak biasa bersolek untuk kamu
Aku ingin kamu melihatku dalam keadaan ’baik’

Ketika tiba di tempat itu, aku menghela napasku panjang-panjang berulang kali.
Gelisah sudah bukan menjadi kata yang tepat.
Rokok juga bukan solusi.
Aku hanya ingin segera bertemu kamu untuk mendapatkan jawaban-jawaban penting bagi hidupku.
Jawaban yang aku nanti-nanti sekian tahun aku hidup.
Penyebab jiwaku sakit.
Penyebab air mataku kering.
Penyebab hatiku patah.
Penyebab sayap harapanku pupus.
Penyebab otakku miring.


Aku melangkahkan kakiku kedalam ruangan itu secara perlahan, berusaha tenang disela kegugupanku.

(senyap menyergap)

Dan tibalah saat itu
Melalui seorang perantara aku lihat kamu di 5 episode hidupmu
Luar biasa
Aku sangat takjub
Bagaimana bisa aku mampu merasakan emosi kamu begitu dekat hingga membuat dadaku panas
Aku bahkan menangis melolong begitu keras ketika merasakan emosi rasa sakitmu akan sebuah kejadian
Aku bahkan bisa merasakan tubuhku melayang melihatmu dibunuh oleh seseorang tepat di jantungmu
Aku bahkan bisa mengenal rayuku sendiri jika aku sedang jatuh cinta seperti yang kamu utarakan kepada pasanganmu
Aku merasa sungguh-sungguh kenal kamu
Aku lebur bersamaan dengan kamu
Tubuhku bergetar hebat
Emosi aneh menyelimuti tubuhku mulai dari ujung rambut hingga ujung kakiku

Dan kau tahu?
Mengapa aku menangis begitu keras hingga menjerit?
Terlalu sakit untuk aku ketahui bahwa kamu mesti merasakan itu semua
Sendiri di ruang penuh ketuban dengan wujud embrio yang belum sempurna
Kamu terlalu dini untuk merasakan semua siksa itu
Lalu aku tersadar kini mengapa aku bisa hapal rasanya siksa
Karena aku di produksi oleh kata itu

(hening yang bening)
(aku sanggup diam)
(seribu bahasa)


Kamu mendadak menimbulkan cinta
Cinta yang kupikir sudah kupahami
Kamu mendadak membuat aku rindu
Rindu yang kupikir sudah kukenali
Kamu mendadak menghujam aku dengan kesepakatan
Kesepakatan yang kian lama aku tunggu

Kemudian kita bertemu
Tatap muka
Kemudian kita berbicara
Dari mata ke mata
Kemudian kita berdialog
Dari hati ke hati
Kamu memberikan aku penjelasan sangat gamblang mengapa kamu menghilang sekian lama dari hidupku
Kamu mendadak buat aku mengerti

Aku yakin kamu tidak tahu
Aku begitu merindukan kesempatan ini
Untuk bertemu dan mendengar penjelasanmu
Untuk mendapatkan jawaban
”Apa salahku hingga kau tinggalkan aku tanpa peta?”
Dan aku tersesat mencari kamu dalam hidupku

(kosong yang indah)
(sepi yang tidak lagi terasa luka)
(aku lega)
(sesak itu berangsur hilang)
(aku memiliki sepasang mata baru)
(rasanya begitu asing)
(dan ini sangat kunanti)
(ternyata ini rasanya pertama)





Mulai dari 9 hingga 15 Februari 2009
Mulai dari kotak setengah kembali ke seperempat
Mulai lagi dari nol
*cara membaca ’kamu’, ’kau’, ’mu’ = ’aku’

Senin, Februari 09, 2009

Hujat yang nikmat

Ludah sengaja kau ciprat, kau pikir akan menodai, tentu tidak
Hujat sengaja kau jilat, kau pikir akan menyakiti, tentu tidak
Luka sengaja kau sayat, kau pikir akan ada cucur darah, tentu tidak

Silahkan terus ludahi, hujat dan sayat
Kau pikir akan menodai, menyakiti dan menciptakan cucur darah baru
Tentu saja tidak
Karena semua itu semakin menggeliatkan geloraku

Semakin banyak hujat, semakin nikmat
Kamu tentunya tidak tahu aku

Pastinya,
Tentu tidak
Tutur katamu justru semakin membangkitkan geloraku

Rumkupkup
09.02.09
00.00 WIB
Nikmatnya hujat

Sabtu, Februari 07, 2009

Khilaf

Mencarinya seperti mengembara ke lorong waktu yang sangat hening
Ketika kau sibak banyak sekali tirai yang mengayun angkuh di setiap pintu yang kau buka
Dan yang kau lihat hanya banyak hal yang bukan menjadi keinginan ataupun kebutuhanmu
Dan kau bisa merasakan nyeri yang mulai menggigit kulitmu
Entah karena dingin, karena kesepian, karena cinta yang tersisih, atau karena memang kau sebenarnya tidak menginginkan apa-apa

Menikmatinya seperti berjalan diatas kerikil dengan kaki telanjang
Bisa kau rasakan trenyuh yang menusuk telapak kakimu
Sedu sedan hingga ke pusat syaraf
Yang kau bisa lakukan hanya hembuskan napas dan terus melaju dengan segala ragu

Melanjutkan dengannya seperti rasa keingintahuan yang siap meledak kapan saja
Begitu miterius dan hampa yang hinggap dalam ubun-ubun
Karena otakmu penuh, lidahmu terkunci, telingamu bungkam.
Tetapi kau sadar kau tetap hidup dengan menghitung detak jantungmu yang seirama dengan tiap kali kau desahkan namanya di ujung bibirmu.

Kupikir ini bukan kebingungan
Tetapi sebuah khilaf yang tak terbayarkan


Kotak dan si merah
Jakarta, 7 Februari 2009
Selesai pk. 19.10 WIB
Semu yang merah

Selasa, Februari 03, 2009

Hari ini aku limbung

Hari ini aku limbung
Kepalaku penuh dan telingaku pekak oleh beberapa kabar
Yang membuatku berpikir ulang
Tentang semuanya

Hari ini aku lunglai
Mendambakan sebuah sapa
Tapi tiada yang tiba
Yang tertinggal pada akhirnya hanya asa

Hari ini semakin kuat aku menuntut diriku
Untuk mampu bergegas menuju sebuah waktu
Yang semestinya semua tanya bermuara pada jawabku

Meski limbung dan lunglai
Aku harusnya tahu semua jawaban
Tapi hati dan logikaku bicara beda

Aku kian terombang ambing di lautan tanya
Mencari sesuatu yang mampu aku sandar
Tapi tiada apa disana

Aku sadari kini
Mestinya tidak begini
Mestinya tidak diawali
Mestinya tidak diamini

Kini
Ketika logika dan hati
Sudah tidak bisa berbicara lagi
Apa yang mesti aku yakini?

Cemara setelah tengah malam
3 Februari 2009
Pk. 00.28 WIB

Minggu, Februari 01, 2009

Sederhana diterjemahkan

Aku benar-benar menikmati momen ketika duduk berhadapan denganmu
Dan keempat mata kita bertemu dalam sebuah pengharapan apa yang akan terjadi kemudian
Ketika semua tanya menunggu jawab dan hati kita sama-sama tahu kita hanya punya rasa yang kian hari merambat menuju sebuah puncak

Aku pikir kita berdua tidak dalam proses segera
Tetapi dalam proses sedang larut dalam semua dinamika yang ada antara kita berdua


Aku benar-benar menikmati momen ketika kedua matamu menghujam mataku dalam

Aku benar-benar menikmati momen ketika kelima jemarimu masuk ke setiap helai rambut panjangku dan merengkuh wajahku masuk kedalam peluk yang redam

Aku benar-benar menikmati momen ketika bibirmu menjemput bibirku untuk bertemu dalam satu tangkup cium yang mesra

Aku benar-benar menikmati momen ketika kau datang setiap kalinya dan ritual biasa yang kau lakukan adalah memelukku hangat dan aku bisa merasakan degup jantungmu yang berdetak normal
(tidak seperti aku yang selalu berdegup berantakan setiap saat menyebut namamu dalam hatiku)

Catatan ini hanya untuk menyampaikan bahwa betapa aku sangat menikmati kesederhanakan kita dalam menterjemahkan hubungan ini

Dan betapa aku menikmati wajah mudamu yang indah dan citarasa dibalik semua itu

Aku hanya ingin menikmati tenggelam dalam duniamu, dunia kita, rasa kita

Rumkupkup
12.42
Sederhana ini memang, tapi rasaku ke kamu sangat beda!