Jumat, Maret 27, 2009

Segera

Dicuri dari sebelah telingaku, satu kata, khianat!
Dicari dari langit yang tidak lagi bisu, satu kata, laknat!
Dicaci dari mulut menjerit dalam bungkam, satu kata, bangsat!

Kemari aku mencari dia dengan dua tuntutan yang sepatutnya tegas
Kesana aku meminta dia menangguhkan segala khilaf sebagai manusia
Kesana kemari aku telah berkali-kali

Bukti kamu aku buktikan dan mereka berikan
Mereka jelaskan aku dengarkan dan kamu tersalahkan
Tiada alasan kini, aku, kamu akan saling berhadapan

Susun gagasan sekian bulan dalam penantian
Aku siapkan sebaiknya kamu bersiap-siap
Aku kata, segerakan!

Tiada alasan kini, aku, kamu akan saling berhadapan


Soerabaia – Pasar Kembang
24 Maret 2009/Selasa
Pk. 23.38

Rabu, Maret 11, 2009

Cukup

Malam ini aku sungguh-sungguh menikmati rembulan. Bulatnya sempurna. Sinarnya tepat. Bibirku mengulum senyum. Cantik. Mataku hingga berkejap.
Degup jantungku mulai tidak beraturan dan ayunan napas itu mulai cepat, cepat dan semakin cepat. Bahuku kerap naik dan turun mengikuti alunan hela napasku. Sontak aku gelisah. Membayangkannya. Menantinya. Seperti bulan-bulan temaram lainnya. Kerinduanku akannya semakin membuncah. Meski luka telah mulai mengering, tapi mendambanya mulai menjadi kegemaranku yang baru. Tak terasa telah enam purnama terlewati.

Wajah indahnya hanya bonus. Bibir tipisnya pelengkap dahaga. Yang luar biasa dari dia adalah dirinya. Jarang aku temui manusia macam dia di belantara dunia saat ini. Begitu bersahaja dan apa adanya. Usia muda tapi sederhana.

Malam ini aku duduk tenang sambil menatap rembulan dengan ketenangan yang jarang. Ku biarkan angin malam membelai kulitku perlahan.
Ku biarkan helai rambutku jatuh terkulai di bahuku, aku pastikan untuk tahu apa yang aku inginkan saat ini.

Menikmati purnama.
Semburatnya lengkap.
Terangnya cukup.
Tidak lebih dan tidak kurang.

Sikapnya menenangkan dan memesraiku dengan begitu baik. Hanya kecup dan sapa melalui semilir angin. Halus.
Cukup. Aku sudah tercukupi dengan itu.
Sesekali menikmati dirinya dalam diriku dan merasakan helaan napasnya di atas wajahku.
Sesekali menikmati dirinya rebah tertidur di sampingku sambil mengenggam erat jemari kiriku.
Sesekali menikmati tawanya di telingaku.
Sesekali menikmati suaranya melalui alunan gitar yang dia mainkan.
Sesekali menikmati usapan hidungnya di dahiku, pipiku, telingaku, bahuku, leherku dan beberapa bagian tubuhku yang lain.

Cukup. Aku sudah tercukupi dengan itu.

Kerinduan ini membuatku resah, padahal tiap hari kami berkomunikasi. Hanya karena dia telah menjelma menjadi candu hidupku, relungku kosong bila ia tiada.

Cukup. Aku sudah tercukupi dengan itu.
Aku cukup tahu asa dan rasaku telah tiba di titik mana.
Rasa-rasanya aku kenal rasa ini.



Rumkupkup
Rabu, 11 Maret 2009
Pk. 21.17 WIB
Ketenanganmu dalam memesraiku begitu ranum.

Selasa, Maret 10, 2009

Melacak sore

Tadi kita melacak sore, menyusuri pusat pertokoan, mencari-cari hal-hal yang hanya menyenangkan mata. Sembari mendengarmu berceloteh kesana kemari, rasanya sudah begitu lama kita tidak menghabiskan waktu. Dan aku kembali mendengarkanmu dengan seksama, begitu juga kamu ke aku.

Mendarat di sebuah restoran, minum teh cina sambil menyantap nasi goreng kepiting. Dan mulailah ritual itu, kamu memborbardirku dengan banyak pertanyaan, seperti ”Bagaimana hidupmu? Siapa pasanganmu sekarang?” dan seperti biasa, kamu paling tertarik dengan cerita ”aku dan pasanganku”. Aku menceritakan ke kamu garis besarnya, ketidakpuasanmu terbaca jelas dan berusaha mengorekku lebih dalam.
Wajahmu masih memancarkan tanda tanya dan siap memborbardirku dengan pertanyaan-pertanyaan yang sifatnya mendetail. Aku senyum-senyum. Dan kali ini aku mengalah. Aku berikan kamu kepuasan.

Harga pertemanan. Ketika aku dan kamu dipertemukan tahun 2004. Aku tahu, kita bisa menjadi teman yang baik.
Harga persaudarian. Sudah kau buktikan. Untuk tetap berada disekitarku, terutama ketika aku susah. Kamu tetap disana, tidak bergeming dan menawarkanku banyak hal yang dikecap manis.
Kamu menangkap tawa, air mata dan rasa sekaligus. Kau ikuti irama hidupku yang dinamis dan aku ikuti irama hidupmu yang lancar-lancar saja.

Kualitas, bukan kuantitas. Begitu katamu. Tak perlu terlalu sering bertemu, toh kita sadar kita tetap berdampingan sebagai sahabat.
Aku percaya!
Sepenuhnya waktu telah membenarkan ucapanmu.
Semoga apa yang kita miliki saat ini bisa bertahan.
Tetap disana dan jangan bergeming.
Dan aku akan berikan hal yang sama.



Rumkupkup
Selasa, 10 Maret 2009
Pk. 23.54 WIB
Lelah sehabis melacak sore

Minggu, Maret 08, 2009

Aku dan kamu, sama-sama tahu

Aku dan kamu, seperti dua cerita yang dijalin dengan kesamaan latar belakang
Aku dan kamu, sama-sama cacat semenjak kecil
Aku dan kamu, sama-sama belum pernah mencicipi rasa bahagia yang mutlak (jika ada)
Aku dan kamu, sama-sama sibuk mencerca cinta
Aku dan kamu, layaknya anak kehilangan induk
Tidak jelas dimiliki dan memiliki siapa
Yang kita berdua tahu dan pahami adalah satu, kesepian.

Kita bertemu di satu persimpangan jalan, bagai bumi dan langit, padahal sesungguhnya jarak kita sangat dekat, layaknya mata dan kacamata.
Bertemu dalam satu waktu untuk suatu maksud. Yang kini kita berdua tetapkan menjadi misteri. Yang kita tahu hanya kita saling merajah, dalam bisu, dalam carut marut dan warna crayon yang senantiasa kita coreng di wajah masing-masing dengan mesranya. Mungkin itu cara kita menggambarkan rasa.

Aku tidak mampu menggambarkan kamu secara eksplisit dalam nuansa bahasa, aku hanya mampu melilit kamu dengan jalinan kata yang aku kuasai.
Kamu tidak mampu menjelaskan perasaanmu secara eksplisit kepadaku karena kamu terlahir nyaris bisu, tapi kamu sudah terlanjur menjerat aku dengan guliran nada yang kerap kali kau bahasakan kepadaku setiap kali kita bertemu.
Kecacatan kita membawa pelengkap kedalam hidup masing-masing. Semacam penyedap tambahan dalam adonan hidup.

Aku dan kamu, sama-sama tahu, tidak yakin berakhir sampai mana
Aku dan kamu, sama-sama tahu, kalau masing-masing dari kita saling membutuhkan
Aku dan kamu, sama-sama tahu, rasa kita berdua nyata adanya
Aku dan kamu, sama-sama tahu, yang kita miliki hanya kepasrahan
Aku dan kamu, sama-sama tahu, untuk kita berdua hanya nasib yang akan menjawab

Semoga kita berdua, aku dan kamu, bisa bersabar.
Semoga kita berdua, aku dan kamu, bisa bertahan.



Rumkupkup, 8 Maret 2009
Tamat pk. 19.39 WIB
Aku tahu kamu seperti kamu tahu aku.
Untuk bintang hidupku, Smurf!