Selasa, April 21, 2009

Hampir yang mampir

Aku bisa merasakan pori-pori kulitku mulai berkeringat. Tidak karena kepanasan. Kali ini karena demam.
Aku juga sudah berkali-kali memperhatikan setiap kali aku bercermin di dahiku ada torehan kata yang bertuliskan ’buntu’. Seolah-seolah sudah mengendap disana sekian waktu.
Aku juga sadar telingaku mulai tuli karena terlalu sering dicaci dari belakang oleh para capung bising, capung yang hanya mampu berdenging berisik tanpa makna. Sungguh-sungguh mubasir kamu jadi capung.
Aku pun tahu mulutku kian bisu untuk kembali berbunyi dalam membahasakan sesuatu. Lidahku mulai malas. Langit-langit mulutku sudah kuberi kawat berduri.
Aku sudah tidak lagi menggunakan otakku secepat biasanya. Aku mulai melambat. Sengaja.
Karena aku lelah.
Karena aku jenuh.
Karena aku telah berada pada satu pucuk penantian yang pada akhirnya aku kenali jawabannya.
Dan aku memahami ini bukan berarti menyerah. Bukan juga egois karena berhenti dari apa yang telah aku mulai. Tapi karena aku hidup hanya sekali. Dan aku memiliki apa itu yang namanya hak, dan juga sebuah konsep absurd yang aku sebut sebagai pilihan.
Aku ingin ’hidup’ lagi.
Saat ini (mungkin) aku hanya ingin duduk sendirian di pojokan sebuah kedai kopi sambil mengunyah es batu dari es kopi yang aku pesan dan memperhatikan pasangan-pasangan yang sedang bergandengan tangan dengan tatapan mata mesra.
Saat ini (mungkin) aku hanya ingin menulis dan menyampaikan semua keresahan, kegelisahan, kemarahan, kekecewaan, sumpah serapahku diatas buku harianku yang berwarna ungu itu.
Saat ini (mungkin) aku hanya ingin melihat kekasihku memainkan gitarnya dan menikmati suara dan ekspresinya sementara aku hanya duduk dengan santai, minum segelas soda, di sebuah kafe dimana dia biasa bermain.
Saat ini (mungkin) aku hanya ingin mengayun-ayunkan kakiku di sebuah dermaga kecil sambil menatap tenangnya air dan berharap kapan tiba waktuku untuk bisa setenang itu.
Saat ini (mungkin) aku hanya ingin menghabiskan waktu seharian bersama dua orang perempuanku dengan cara berjalan-jalan menyusuri Jakarta, wisata kuliner, wisata mata di plaza, kemudian seperti biasa berceloteh kesana-kemari hingga tertawa tergelak-gelak.
Bisa saja saat ini (mungkin) aku hanya ingin rebah di lantai rumahku yang beralas plastik warna hitam putih, aku akan matikan semua lampu hingga suasana terasa sangat ’malam’, kemudian aku nyalakan dengan keras sebuah lagu yang aku suka dan aku akan menikmati semua itu dengan banyaknya lilin mungil menyala bertebaran di sekelilingku. Dan aku akan asyik sendiri menikmati semua temaram dengan ’hidangan’ yang telah aku siapkan.

Ini bukan sepi. Tapi jenuh yang telah menepi. Aku ingin bernapas untuk napasku sendiri.
Aku ingin menguji diriku dengan orang-orang terdekat yang memang telah teruji.
Aku ingin menilai diriku dari sudut yang lain.
Aku hanya lelah ’menari’ diatas pusaran air.

Aku berharap bisa berada di sebuah episode hidup sebagai seorang ballerina, dalam scene selesai menari, di penghujung acara, masih dengan point shoe dan costume, ketika semua orang tepuk tangan, dan aku berdiri di sana, dengan sorot lampu yang membuatku pada akhirnya tidak bisa membuatku melihat siapapun karena silaunya begitu membutakan, dan di lengan kiriku kupeluk buket mawar merah, aku akan mengucap terima kasih ala ballerina sembari tersenyum puas. Puas karena ini tarian terakhir terbaik yang telah aku berikan.

[Kemudian tirai panggung turun dan menghilangkan aku dari penglihatan orang-orang]


Santa, 21 April 2009
21.27 WIB
Bukan hal yang aneh
Hanya aku merasa ini wajar

Tidak ada komentar:

Posting Komentar