Sepotong asa dalam alunan angklung di bulan sabit yang menjuntai. Ada mereka, ada aku dan yang paling penat adalah ada benakku. Semuanya terjalin seperti jaring laba-laba di pojok blog ini.
Senin, Oktober 20, 2008
Pura-pura
Aku mencoba membayangkan berulang kali semua kata-kata cinta yang dia utarakan kemarin sore. Tetapi hatiku mengatakan itu hanya rekayasa rasanya saja, hanya untuk mencuri perhatianku saja, aku tidak merasakan ketulusannya dalam benakku.
Lantas aku jadi berpura-pura mendengar, berpura-pura peduli, berpura-pura paham, dan berpura-pura empati, padahal hatiku sengaja aku buat tuli.
Wajahnya yang penuh cahaya berbinar seperti pijar lampu, bibirnya mengembang dengan senyum yang teramat sangat manis, jemarinya naik turun mengikuti alunan suaranya ketika berbincang denganku, dan aku terus memperhatikannya.
Sepertinya dia tidak menyadari kalau aku tidak tertarik padanya, atau aku yang terlalu pandai menyimpan rasaku?
Ketika pada akhirnya aku berpaling dan berlalu, dirinya bisa kuperhatikan langsung mengejang kencang dan kaku. Raut wajahnya tersinggung dan gerahamnya bisa kudengar bergemeletuk seperti pecahan es batu dalam mulut.
Aku terus berlalu dan berpaling. Aku abaikan perasaan tidak enak, aku tidak hiraukan kilat matanya yang marah, aku tidak peduli bila yang aku lakukan ini akan menyakitkannya.
Karena sesungguhnya aku bukan orang yang bisa terlalu lama berpura-pura dan diam dalam keangkuhan yang tidak jelas seperti sekarang.
Buatku, sekarang atau nanti sama saja.
Karena aku tidak memiliki rasa apapun padamu.
Jakarta, 20 Oktober 2008
H. Nawi I no 1
Pk. 15.50 WIB
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar