Sepotong asa dalam alunan angklung di bulan sabit yang menjuntai. Ada mereka, ada aku dan yang paling penat adalah ada benakku. Semuanya terjalin seperti jaring laba-laba di pojok blog ini.
Rabu, Desember 29, 2010
Jangan lupa itu
Diterjemahkan dengan bahasa apa lagi
Kesunyian ini seperti kalimat yang ambigu
Ketika kita bertengkar mendadak hampa udara
Urat menyembul dari dahi dan leher
Emosi
Kemudian rona udara pudar
Kita kembali bernapas normal
Tak lagi diburu hasrat
Otot kita mengendur
Dan kita lalu bertaut sambil bercumbu
Ini barangkali dinamika roman
Bumbu legit yang penuh rempah
Sering kita cicipi dalam lautan waktu
Seberapa kuat hubungan kita terjalin
Ada kerut dan cemberut namun ada pula gelak tawa
Nikmati saja
Gelora ini bukan sekedar pujian atau doa
Tetapi sebuah kelambu yang mengerubungi kita berdua
Warnanya merah jambu
Jangan lupa itu
Warnanya merah jambu, kita!
29 Desember 2010
Nawi
Kamis, Desember 23, 2010
Kau tidak memiliki [nyali]
Sakit, ya!
Masih, hingga kini.
Sesak, ya!
Masih, hingga kini.
Setiap terjaga aku bisa merasakan kemarahan masih berdentum-dentum
Kita tidak layak satu sama lain
Maka dari itu kita dipisahkan
Benci, ya!
Masih, hingga kini.
Memiliki cukup nyalikah kau
Untuk bilang, “maaf?” kepadaku
Dan tidak melalui gaya “titip pesan” melalui temanku
Muak, ya!
Masih, hingga kini.
Ke kalian berdua tentu saja.
23 Desember 2010
Jumat, Desember 10, 2010
Fana
Tak perlu cari aku lagi
Aku tak begitu transparan pula
Aku bisa hinggap di ujung matamu
Dan dalam senyummu yang terkulum
Aku ada dimana-mana
Dimana saja kau mau meletakkan aku, hatimu!
Karena aku percaya
Kau membawa aku kemanapun kau pergi
Denyut jantung kita di ketukan yang sama
Desir darah kita dalam deras yang mirip
Hela napas yang berkesinambungan
Aku, kamu, dan irama
Jangan jelaskan
Aku tak ingin mendengar
Semuanya cukup untuk memberikan sebuah sketsa
Bahwa kita, aku, kamu, bersama dan fana
Letakkan saja aku kembali ke tempat biasa kau simpan
Karena aku lihat dari hasil mengintai
Otakmu tak pernah berhenti menginginkanku
Karena aku, hatimupun, begitu!
10 Desember 2010
di H. Nawi
Rabu, November 24, 2010
Dibalut birahi!
Aku suka lihat mata kamu, banyak bintangnya! Apalagi bibir kamu kalau senyum, terang seperti purnama!
Cium aku lagi! Aku suka bau napasmu. Bau tembakau.
Aku suka cara kamu bilang 'sayang'. Hanya dengan menjentikkan ujung hidungmu ke ujung hidungku!
Bawa diriku lagi kedalam pelukmu yang rapuh itu. Tak apa. Cinta kita memang membuat hati kita mudah retak. Akibat 'terlalu'.
Ayun aku lagi hingga ke titik tertinggi. Hanya dalam sekali hentak tubuh kita sudah bertaut. Lumer. Meleleh!
Satu kulum, laksana seribu kecup. Bergairah dan menyulut hasrat. Selalu ingin lebih darimu. Tak pernah cukup!
Jangkau aku lagi hingga ke lengkung terdalam. Jangan hirau lenguhku. Peluhmu menetes dipori wajahku. Lagi! Aku bilang lagi!
Kau mengerang. Aku mengejang. Dua kepribadian menyatu dalam gerak berirama. Tanpa musik. Hanya desah. Basah.
Percepat. Dan kamu melebihkan. Percepat. Dan kamu menempelkan wajahmu diwajahku. Dua mata, tanpa lentera. Berbicara.
Tertinggi sudah. Menuju puncak. Tak perlu didesak, kita sudah tersedak. Tubuh kamu melengking, menghujam terlalu dalam. Lalu melemas, berair!
Dan sayang? Aku selalu bharap, kecintaan ini tak akan luruh seperti hujan tadi sore. Masih ingin terus memagut kamu, terus dan terus.
Karena apa yang aku utarakan disini sesungguhnya segala darah yang mengalir dalam nadi.
Pssst! Jangan bersuara. Atau akan aku sumpal lagi mulutmu dengan bibirku. Biar panas kembali membakar ranjang kita.
Rumah Warna
23 November 2010
Selasa, November 23, 2010
Nampaknya
Nampaknya kita sepaham dengan amarah yang meletup-letup ini
Kebencian yang masih tertancap dalam ulu hati
Sehingga semua desak udara muncrat ke lidah dan bibir
Ingin memaki
Memaki tepat diwajahnya
Namun waktu berlalu dan aku belajar
Aku tidak ingin menjadi seperti perempuan itu
Perempuan yang memberikan rasa benci ini
Aku terlalu baik untuk menjadi culas seperti dia
Dan kamu, sayang
Kamu terlalu purnama untuk itu
Meski aku dan kamu sering berceloteh tentang perempuan-perempuan itu
Yang telah merampas apa yang kita sebut perasaan baik
Mereka akan mendapatkan karmanya, begitu juga mantan lelaki kita
[menyeringai]
Dan nampaknya
Waktu masih akan terus membuat kita terpaksa belajar sabar
Lebih daripada sebelumnya
Telan saja pil pahit ini
Hisap empedunya
Riuh rendah amarah dalam dada
Dibuat saja melodinya
Semoga kita akan baik-baik saja
Tulisan untuk Virga
23.11.2010
Di Nawi
Senin, November 22, 2010
Kau lakukan itu [lagi]
Kau lakukan itu [lagi]
Kali ini aku tidak tahu harus berkomentar apa lagi
Kecewa, tentu
Tapi menegurmu? Aku tak ingin
Biar saja nanti waktu yang akan mendewasakanmu
Kau lakukan itu [lagi]
Dan aku baru tahu tadi
Kuakui sejenak aku membeku
Apa salahku kali ini?
Apa kamu yang tidak bisa menerima keadaanku sekarang?
Anggap saja ini usai, bukan?
Aku dan kamu, yang selalu berbicara melalui malam
Anggap saja kita tak pernah kenal, bukan?
Aku dan kamu, yang menyimpan segala sesuatunya dalam diam
Kalau begitu, sampai jumpa
Hingga ada saat yang yang terduga
Hingga ada momen dimana kita bicara
Meski itu hanya satu patah kata, melalui tatapan mata!
Jakarta, 22 November 2010
Rumah Warna
Selesai pl. 02.39 dinihari
Kamis, November 18, 2010
Berbagi rahasia
Berbagi rahasia
Seperti menyimpan sekam
Kemudian menjelma menjadi dendam
Yang perlahan akan membunuh
Aku dan hatiku
Apapun penjelasanmu
Aku dengar dan simak
Aku paham dan maklumi
Tapi hatiku, siapa yang tahu
Aku senyum dan menyimpulkan sendiri
Semua ini hanya tali bukan
Hanya jalinan listrik antara aku, kamu dan dia
Jalinan yang mungkin tak akan bisa kau pilih
Kau hanya bisa menuntut untuk dimengerti
Kita lihat saja nanti
Air akan mengalir kearah mana
Aku kali ini sudah lelah berdebat
Lanjut saja
Hanyut saja
Jika sudah tak tahan akupun akan angkat bicara
Sementara itu
Aku masih ingin disini
Bersamamu
Meski itu mesti berbagi rahasia
18 November 2010
Rumah Warna
Minggu, Oktober 31, 2010
Kunang-kunang
Ketika bersamamu aku bisa merasakan rasanya embun
Menenangkan
Seperti mengunyah kue kering yang kau hidangkan setiap pagi
Renyah
Ketika bermain-main dengan jemarimu aku bisa tersenyum senang
Gesekan kulit kita begitu sederhana
Bukan setrum dengan jutaan voltage yang mampu membakar
Cukup setrum kecil dan kita membara dengan sendirinya
Entah kenapa kali ini aku tidak ingin membubuhkan lidahku dengan janji
Aku hanya ingin kamu menyisir rambutku dengan hidungmu seperti biasa
Menghirup bau tubuhku
Sisakan sedikit untuk nanti sore!
Aku tidak bisa menjabarkan berapa kali berapa luas dan panjang perasaanku
Sisihkan saja keraguan dan luka yang perlahan memudar
Yang aku inginkan hanya mengulum rindu, menyesap haru yang membiru
Cukup kamu saja, seperti ini saja.
Jangan dilebihkan, jangan dikurangkan.
Sensasinya sudah seperti ditaburi beribu kunang-kunang dalam kepalaku!
Rumah warna
31 Oktober 2010
Rabu, Oktober 27, 2010
Kita bisa apa?
Cinta kita sedang diuji
Seberapa tahan menanggung darah dan nanah serta derai air mata
Ketika apa yang kita sebut jagad mulai menancapkan kuku
Atas kekuasaan itu kita bisa apa?
Nyawa bergelimpangan
Luka berderak maju pantang mundur
Mendesak cinta kita hingga nyerinya sampai ke ulu hati
Atas kekuatan itu kita bisa apa?
Sayatan menganga dilengan masing-masing
Apa rasanya sudah tidak sanggup dihirau
Semua ini begitu bertubi-tubi
Atas kebingungan ini kita bisa apa?
Melipat tangan dan tahan napas
Luruh duka ke bumi
Seperti lagi dan lagi bernapas dalam air
Atas kehilangan begitu banyak cinta kita bisa apa?
Atas apa yang kita sebut bencana?
Kita bisa apa?
Rabu, 27 Oktober 2010
Rumah Warna
Jumat, Oktober 22, 2010
Virus
Bising, bising, bising!
Jenuh aku membenci kamu
Rasa ingin membunuh kamu telah hampir membunuhku
Kau ciptakan monster baru dalam diriku
Kamu berkembang biak dengan sangat baik dalam diriku
Bermutasi menjadi sekian milyar dendam
Tak mampu ku ciptakan antivirus
Tubuhku belum bisa mengelaknya
Tidak perlu tunggu aku hingga cair
Butuh waktu lama
Cakarmu telah beku, disini, diimplan dalam otakku
Tak bisa kau beli kembali
13 September 2010
Rumah Warna
Kamis, Oktober 14, 2010
Ingin kamu, lagi!
Ingin didamba kamu lagi
Ingin mendapatkan banyak pesan mesra
Yang bisa aku baca berulang-ulang
Dan membuat bibirku tidak mengerucut melainkan tersenyum
Ingin duduk disamping kamu lagi
Berbagi ide dan harapan muluk
Yang mungkin baru seribu tahun lagi tercapai
Tapi mampu membuat kita tergelak-gelak
Ingin rebah disamping kamu lagi
Hanya menatap dadamu yang naik turun ketika tertidur
Dan memperhatikan dengan lekat bentuk wajahmu
Mencium bau tubuhmu, bau tembakau
Ingin berada dalam hati dan pikiranmu lagi
Aku ingin diinginkan kamu lagi
Menikmati mata dan tangan kamu yang begitu menginginkan aku
Hingga kita akan berakhir diatas kasur dengan peluh dan napas terengah
Ingin kamu memiliki aku tanpa batasan
Ingin kamu mencari aku lagi dan lagi tanpa kendali
Hingga bisa merasakan jatuh cinta gila-gilaan carut marut
Lupa daratan, yang kita inginkan hanya lautan
Namun aku terdiam, terhenyak!
Rasa inginku yang besar ini hanya bisa aku simpan disini
Dikepalaku, di detak nadiku
Memiliki kamu lagi sama saja dengan bunuh diri
Karena setiap kali berada didekatmu, cinta kita membuat semuanya hitam
Cinta yang membutakan
Destruktif!
Hai kamu, laki-laki beraroma tembakau
Apa kabar kamu disana?
Aku RINDU
14 Oktober 2010
Jakarta
foto: rolrambutkoneng
Selasa, Oktober 12, 2010
Waktu dan luka
Meracau, lagi dan lagi
Membiarkan lidahku mengulang decak-decak tak beraturan
Mondar mandir mengelilingi satu lingkaran
Membiarkan jari-jari kakiku melengking mengikuti gurat tanah
Menghela napas diantara helai rambut yang turun diwajahku
Meniupnya dengan ujung bibirku dan merasakan ujungnya yang terbelah
Bibirku meruncing minta satu teguk rasa
Jemariku meremas nadi yang tenggelam diantara detak waktu
Memohon akan sebuah penjelasan diantara dua keping bintang
Mengapa luka ini masih menganga dan mengucurkan nanah?
Terjalin kata-kata dalam benak seperti jaring laba-laba
Menempel lekat di langit-langit hati
Dua kalimat menyentak
Bukan waktu yang menyembuhkan luka ternyata
Tetapi waktu yang mengajari bagaimana cara menghadapi luka
Jari kakiku berhenti melengking
Lidahku berhenti berdecak
Bibirku berhenti meruncing
Dan membiarkan waktu mengajari aku bagaimana cara menghadapi luka
7 Juli 2010
Di rumah warna
Kamis, Oktober 07, 2010
Disembunyikan waktu
Pijar itu tetap ada
Entah sampai kapan
Mungkin sampai gelembung udara didalam dadaku ini meledak
Hanya ingin kamu paham
Aku masih merasakanmu
Lalu apa warna hubungan kita?
Dua hati bertaut tanpa kata-kata
Disembunyikan oleh waktu sekian lama
Perasaan kita terbenam oleh gugusan bintang
Setiap ada kesempatan kita bertemu
Hanya bisa dihitung oleh jari yang tak lengkap
Setiap dua pasang mata bertemu
Hanya bibir yang tersenyum yang berbicara
Lalu dihadapan kita, di kepala kita, dihidangkan semua memori
Antara kau dan aku, tempo dulu!
Jangan ditarik lagi
Aku tidak butuh kesimpulan
Aku ingin kita begini saja
Benamkan dalam-dalam
Hirup dan hempaskan
Biar waktu yang menyembunyikan hati kita
Aku dan kamu sama-sama tahu
Jika kita bersama, justru tidak akan menyatukan apapun
Biarkan aku dan kamu terlelap dalam balutan kapas lembut
7 Oktober 2010 / Jakarta
Senin, Oktober 04, 2010
JALIN
Sendu itu tidak menyakitkan
Hanya sedikit cubit diatas lengan
Sedikit basah dikelopak mata
Dan nada sengau dalam pita suara
Rasa itu tidak mematikan
Hanya mengejutkan dengan sensasi pelangi
Menangis dan tertawa dalam jarak dekat
Ketika kau lari masuk dalam satu pelukan
Hangat itu menyenangkan
Bibirmu akan senantiasa naik
Lidahmu terus berkicau dan menanti
Berharap kejora akan jatuh di telapak tangan
Harapan itu mampu menjuntai cukup lama
Terayun di kaki langit
Penuh dengan sinar redup
Sorot pantul bola mata kita
Tarik tinggi-tinggi mimpi hingga ke permukaan
Rajut lagi asa yang tertunda
Decak doa kurang terdengar
Lantunkan!
Sentuh kita dengan kata-kata wajar
Jaga gejolak hingga secukupnya
Hela napas dalam irama yang benar
Kali ini aku, kamu, kita, semoga, akan selalu bersama
24 Juli 2010
Rumah Warna
Selasa, September 07, 2010
Janin Bangkai
Kini aku tahu
Aku tidak perlu menyimpan rasa busuk ini lagi
Ternyata selama ini aku hanya memandikan bangkai janin
Sebaiknya segera ku kubur dan kuberikan beribu bunga kamboja
Berbaringlah yang tenang disana
Sesekali [mungkin] aku akan berkunjung
Untuk sekedar bertanya, apakah sisa bangkaimu masih ada atau tidak
Lihat nanti saja, bilamana ada waktu
7 September 2010
Minggu, Juli 25, 2010
TANDAS
Kenapa lagi muncul ketika telah terbit terang
Sekedar ucap selamat
Kau pikir aku anggap penting?
Tidak!
Kau itu ibarat pisau berkarat mengandung tetanus
Bahasa yang kau bungkus terdengar hipokrit
Jadi jangan kira kali ini aku tertipu oleh bulusmu
Maaf, dugaanmu bias
Buatku kamu sedang onani
Dan tidak akan pernah mengalami klimaks
Susunan seranganmu itu ringkih
Seperti hati dan pikiranmu
Arogansimu dibalut semilyar dusta
Aku menaruh belas kasih ke perempuanmu sekarang
Pasti kau tutup mata, telinga dan matanya dengan perban usang
Sudah tutup!
Aku tidak lagi memiliki sisa kata atau ingin berbagi kenangan manis
Kau hanya cemburu
Aku berdoa karmamu atasku tidak memar
Atau sakit yang berlipat ganda dari pedihku
Menampik tubuhmu yang kini tinggal punggung
Jangan minta wajahku
Karena kini sedang bulat penuh purnama
Sumringah!
Silahkan beranjak jauh
Aku tidak ambil peduli
Persediaan maafku telah tandas
25 Juli 2010
Rumah Warna
01.15 dinihari
Senin, Juli 12, 2010
Aku pilih untuk menerima saja
Mendadak sontak terjebak dimatanya
Disergap rasa asing
Hinggap disana sini
Hingga menimbulkan sensasi kupu kupu diperutku
Tidak sedang menajamkan niat
Untuk cari sesuatu itu
Apapun namanya
Aku pilih untuk menerima saja
Dikelilingi selaput kenyamanan
Hanya aura yang menenangkan
Dan sejujurnya berada disekitarnya itu menyenangkan
Seperti dirundung warna merah jambu bening
Dan sepertinya,
Aku pilih untuk menerima saja
Kali ini tanpa syarat
[aku pilih untuk menerima saja]
Karena semuanya terlihat begitu sederhana
9 Juli 2010
Di rumah warna
Sabtu, Juli 10, 2010
KACA PECAH
Berusaha dengan sangat keras menghentikan dendam
Tapi marah ini terus mendengus
Diantara sekian belati yang telah siap aku hunus
Untuk setiap saat ada kesempatan untuk bertemu kamu
Berusaha memejamkan mata di 30 malam belakangan ini
Tapi apa yang telah kamu lakukan kepadaku terus hilir mudik dikepalaku
Mengoyak semua kenangan dan rasa yang sebelumnya ada
Lagi-lagi aku ingin menghunus kamu dengan semua gelagat busukku
Beri tahu aku bagaimana cara memaafkan pengkhianatanmu?
Beri tahu aku bagaimana cara meredam semua kekejamanmu?
Beri tahu aku bagaimana cara menerima fakta bahwa kamu tidak lebih baik daripada aku?
Beri tahu aku bagaimana cara menahan diri untuk tidak mencincang kamu dengan kata-kataku yang pedih?
Dan beri tahu aku sekarang!
Bagaimana caranya untuk tetap menyayangi kamu sebagai orang yang berarti dalam hidupku?
Jika kamu paham
Jika kamu di tempat dimana aku berdiri sekarang
Jika kamu berada didalam relung hatiku
Kamu pasti melihat dengan mata kepalamu sendiri
Bahwa apa yang kamu lakukan itu telah meluluh lantakkan hatiku yang seperti kaca
Hatiku adalah kaca.
Pecah,
Kepingannya kusimpan untukmu.
6 Juli 2010
Di rumah warna
Sabtu, Juni 05, 2010
Ludah
Menjilat ludah
Sudah dikerubungi lalat
Sudah bertaburan bakteri
Sudah menguap karena matahari
Terpicing mata
Menetaskan air liur
Ingin meludah lagi
Menahan sisa di tenggorok
Gelegak emosi didada
Menghitung napas satu-satu
Ketukan jantung tidak berirama
Yang ada hanya desah napas memburu
Bermain dengan analogi
Bermain dengan emosi
Bermain dengan satu juta satu ’andai’
Kali ini bermain dengan diri sendiri
Hingga tiba pada satu titik nadi
Menjilat ludah
Kali ini aku telan
Tidak ingin menebar kuman
Yang nantinya akan aku jilat lagi
Seperti biasanya
Menelan ludah
Meski pahit
Meski nyeri
Kali ini aku telan dan nikmati saja
Jika besok kiamat
Aku lega karena kali ini aku tidak kembali menjilat ludahku sendiri (lagi)
5 Juni 2010
Kamis, Juni 03, 2010
Gelas teh kesayanganku
Gelas teh kesayanganku terkoyak
Karena beberapa kali secara tidak sengaja aku senggol
Terjatuh
Kemudian terbanting
Gelas teh kesayanganku sebelumnya masih mampu bertahan
Meski retak, dan luka disana sini
Tetapi ia masih bisa berbentuk gelas, gelas kesayanganku!
Terakhir, karena sebuah kelalaian, aku menghempaskan gelas teh kesayanganku
Dan kali ini dia jatuh berderai
Aku terhenyak
Hening sekian lama
Berdiri mematung
Ini gelas teh kesayanganku, kebanggaanku, yang telah hampir 300 hari menemaniku minum teh di momen-momen hidupku
Dia tercerai berai
Tidak sanggup lagi bertahan
Meski aku segera memungut setiap pecahannya, dan bersumpah akan mencari lem super lengket untuk kembali merekatkan dia menjadi satu lagi
Menjadi gelas teh kesayanganku. Gelas kebanggaanku.
Tetapi ternyata gelas itu menyerah.
Dia menolak untuk direkatkan kembali.
Dia tidak ingin menjadi gelas teh kesayanganku lagi.
Karena aku lalai menjaganya.
Karena aku tidak menyentuhnya selayaknya benda kesayangan.
Dan dengan kedua tangan yang gemetaran
Menahan penyesalan hingga ke ujung tenggorok
Aku meletakkan semua kepingan gelas teh kesayanganku diatas pangkuanku
Menyentuhnya pelan dan merasakan pinggiran pecahan yang runcing menganga
Maafkan aku gelas. Telah membuatmu pecah berderai.
Pasti luka yang kutoreh akan membekas dalam.
Maafkan aku gelas. Aku lalai menjagamu dengan hatiku.
Nawi, 3 Juni 2010
Senin, Mei 03, 2010
Mulai enggan!
Aku merasa mulai kehabisan daya untuk memahami kamu
Ketika semua usaha telah aku kerahkan
Dan kamu hanya beringsut sedikit dari tempat kamu menaruh harga standar
Aku telah paham aku nyaris berada dititik mana
Aku mulai lelah dengan caramu memperdaya logikamu sendiri
Keenggananmu untuk belajar memahami perasaan orang lain mulai mengusik kesabaranku
Kini aku merasa diriku mulai menaruh harga mati
Aku telah paham aku nyaris berada dititik mana
Jika nanti aku telah tiba pada satu kata cukup
Aku harap kamu bisa paham
Bahwa itu berarti selesai sudah
Berarti aku sudah tiba pada ujungku
Mungkin memang disayangkan
Mungkin patut ditimbang balik
Mungkin bisa ditawar kembali
Mungkin ya, mungkin tidak
Yang pasti saat ini aku mulai enggan
Aku lelah untuk merasa lelah
Aku merasa usahaku hanya berpijak pada sisi telapak yang salah
Jika ini memang benar hanya bertepuk sebelah tangan
Aku telah paham aku nyaris berada dititik yang mana
Rolrambutkoneng
06.28 WIB
3 Mei 2010/Senin
Sabtu, April 17, 2010
Begini jika aku berjumlah sejuta
Begini
Bagaimana jika aku ludahi kamu dengan berjuta-juta amarah
Begini
Bagaimana jika aku banjiri kamu dengan berjuta-juta butir air mata
Begini
Bagaimana jika aku merengkuh kamu dengan berjuta-juta gelak tawa
Begini
Bagaimana jika aku mencabik kamu dengan berjuta-juta dendam yang belum sirna
Begini
Bagaimana jika aku mencium kamu dengan berjuta-juta kecupan manis
Begini
Bagaimana jika aku berlari kearahmu dengan berjuta-juta tuntutan
Begini
Bagaimana jika aku tiba-tiba melesak ke hatimu dengan berjuta-juta rasa
Begini
Bagaimana jika aku menyatakan kepada jiwamu berjuta-juta harapan
Apakah kali ini kau tetap bungkam
Apakah kali ini kau tetap belum paham
Apakah kali ini kau tetap diam
Begini
Bagaimana jika aku menusuk relung hatimu dengan belati yang telah aku hunus sejak kemarin-kemarin?
Apakah kali ini akan membuat kamu menoleh dan memberi aku berjuta-juta alasan?
17 April 2010
22.28 WIB
Sabtu, Maret 20, 2010
Infeksi
Hatimu melengkung
Didesak oleh rasa yang kian cembung
Hatiku melengkung
Didera oleh cinta yang kian membusung
Hati kita melengkung
Tidak perlu rekonstruksi amarah yang berdengung
Hatiku menanti
Dendam yang kau simpan mati
Hatiku menanti
Kecewa yang bertahta perlahan terobati
Hatiku menanti
Hatimu paham bahwa hatiku tetap disini
20 Maret 2010
Selasa, Maret 02, 2010
Telah terinjak
Senantiasa ada dan menghentak
Menghunus seperti rasa berani
Tetapi senja yang timbul tenggelam
Membuatku ragu untuk berujar
Semua serba kabut tipis
Seperti labirin yang terkoyak
Debu beterbangan tak tentu arah
Salah satunya hinggap dipucuk hidungmu
Ingin rasanya kukecup dengan ujung bibirku
Merasakan kamu seperti menikmati satu gelas teh tawar hangat
Tidak perlu manis yang menyengat
Hangat saja sudah cukup membuat relung dadaku tersekat
Merenungi kamu sebelum aku rebah
Menikmati bau kulitmu yang seperti bau matahari
Menghirup bau napasmu yang seperti bau tembakau
Tak perlu aku julurkan lidahku untuk merayu
Kehadiranmu sudah membuatku gundah
Diam saja disana
Di pojokan ruang tempat biasa
Biarkan aku tetap menelan kekaguman akan semua rasa
Jangan bergerak
Aku tidak lagi ingin tersedak
Oleh rasa yang aku persilahkan masuk dan mulai terasa sesak
Jangan dihitung
Ini bukan matematika dan logika
Tetaplah diam seperti sebuah karya pahatan patung
Aku sudah mengunci rapat kedua telinga
Jangan beranjak
Aku sudah pada titik ingin berteriak
Bahwa hatiku telah terinjak
Telah terinjak!
2 Maret 2010
00.18 WIB
Sabtu, Februari 06, 2010
Rindu
Minggu, Januari 24, 2010
Cumbu terakhir
Hadir ditengah gelap
Sebagai lilin kecil yang menghangatkan sebuah ruang lebar
Segenap waktu berdetak
Kamu mengisi dan hanya mencipta
Sebuah rasa yang belum aku kenal
Mungkin itu maksud kita dipertemukan
Sebuah masa yang singkat namun padat
Sebuah rasa tanpa syarat
Kau berikan tanpa sekat
Kemarin kau pergi dalam genggaman kedua lenganku
Aku lihat kau menghela napasmu terakhir
Tak jemu aku mencumbu
Karena aku tahu ini telah menjadi cumbuan terakhir
Aku berulang kali peluk kamu
Aku berulang kali dekap kamu
Aku ingin merasakan rasa itu lagi dan lagi
Namun aku sadar kamu sudah tidak ada lagi
Air mata belum berhenti
Hingga detik ini
Rasa sakit kehilanganmu belum habis
Aku pikir itu pedih tak terkira yang tidak bisa ditepis
Aku ingin mengucapkan terima kasih
Dalam kurun waktu yang bisa dihitung dengan jari
Kau telah membuatku kembali belajar mencinta
Tanpa banyak umbar kata
Tanpa banyak umbar janji
Hanya memberi, lagi dan lagi
Aku akan simpan kamu
Selamanya
Dalam kotak hatiku yang telah kau titipkan sebuah lilin abadi
21 Januari 2010
Santa
10.05 pagi
Untuk: Chibby
Sabtu, Januari 16, 2010
Bertahan
Senyummu begitu getir
Ujung mataku menangkap itu
Mata kita begitu galau
Hatiku merasa kita berdua seolah retak
Tapi aku tidak percaya pada pecahan kaca
Aku menyandarkan keyakinanku pada hatimu
Mulutku bergumam tidak menentu
Lidahmu telah menyusun banyak kata namun tak terucapkan
Kita seperti si tuli dan si bisu
Tapi sayangnya hati kita telah bertaut
Cerita kita belum bisa menjadi ikhtisar
Karena dia masih menjadi sebuah konsep kasar
Dua ego yang sedang meraba dalam dua iklim
Mungkin diam adalah benar
Untuk sementara sebaiknya kita hening
Meredam dendam dan amarah
Semoga itu tidak membuat rasa kita seolah-olah menjadi pudar
Terlalu dini
Terlalu singkat
Untuk menyatakan bahwa perpisahan adalah yang terbenar
-Rumkupkup-
16 Januari 2010
02.05 WIB
*tujuh*
Dalam temaram aku menemukan lekuk bibirmu
Kusentuh dengan jariku
Aku menuntut kamu untuk merasakan aliran darahku melalui ujung jariku
Aku tidak terlalu menyukai sendiri
Meski itu yang kau pinta saat ini
Memiliki waktu untuk masing-masing dari kita menepi
Jangan sebut namaku yang ku tahu pasti telah ada dalam hatimu
Jangan panggil aku dengan panggilan kesayanganmu jika kita bertemu
Aku pikir kita sedang jemu dengan semua pertikaian yang menikam seperti sembilu
Semacam firasat
Aku sadar rasaku padamu bukan sesaat
Kita hanya sedang tersesat
Untuk mencari rasa kasih yang tengah penat
Aku menuntut kamu untuk tidak menyerah
Aku menuntut diriku untuk tidak lelah
Menghadapi hubungan kita yang seperti sengatan lebah
Begitu menyengat hingga kita berdua nyaris rebah
Aku menginginkan kita memperjuangkan hubungan ini
Demi sesuatu yang telah kita mulai sejak dini
Demi sesuatu yang telah tumbuh dihati
Demi sebuah niat baik yang telah aku junjung tinggi
Aku dan kamu hanya perlu bersabar
Saling memaafkan dan berhati besar
Percaya bahwa ketulusan adalah benar
Bahwa aku sungguh-sungguh tidak ingin kita berpencar
Aku tidak ingin kita usai
Aku tidak ingin rasa kita terburai
Aku ingin kita sama-sama bisa menuai
Apa yang sudah kita tanam semenjak tujuh bulan lalu
Rumkupkup
01.45 dinihari
16 Januari 2010/Sabtu
Jumat, Januari 15, 2010
*Kamu yang tunggal
Ini merupakan dahaga yang selama ini aku tahan
Aku terlelap ditemani oleh bintang yang memberikan kerjap fana
Membiarkan aku terbius dalam beningnya realita
Ketika kini aku rasakan pedih yang begitu mengganggu
Aku meleleh seperti bongkahan es yang perlahan cair
Menangis hingga bentuk wajahku menjadi boneka lumer
Jangan pergi lagi, aku merindukan momen ini
Aku tidak ingin berpaling lagi, karena benar kau sesungguhnya kekasih hati
Begitu bebas berceloteh tentang banyak kesalahan dan dusta yang aku nistakan dari mulutku
Aku tahu pasti kau akan memaafkanku tanpa syarat
Aku yakin kau akan tetap mencintaiku tanpa pernyataan hitam diatas putih
Membiarkan aku terkulai dihamparan selembar kain sebagai alas untuk bersimpuh
Dengan wajah yang telah penuh dengan air mata
Baru kali ini lidahku begitu kelu
Baru kali ini aku berdiri dengan muka yang sudah basah oleh air mata
Aku paham kau pasti mengerti apa yang terjadi tadi
Bawa aku kembali kepada pelukanmu
Aku sesungguh-sungguhnya rindu
Kau satu-satunya tempat aku mengadu
Dan mencintaimu sudah menjelma menjadi semacam candu
Meski banyak cerita yang aku robek karena keangkuhanku
Kau tetap menautkan dua tali diantara hati kita
Kau tetap mengawasi, meski aku sudah begitu keras menantang diriku sendiri
Aku heran
Bagaimana kau bisa mencintaiku sedemikian rupa
Tetap menjadi satelit
Tetap mengirim sinyal
Tetap memposisikan aku dalam jangkauan radarmu
Tetap berdiri tegak dan aku bisa bersender kapan saja aku menginginkan untuk jatuh
Aku kini pincang
Aku merasa hatiku telah lelah berjuang
Aku sedih hasratku mulai redup
Tapi lagi-lagi kau tetap ada dan setia menjadi tempat aku berceloteh tentang sebuah dongeng hidup picisan
Berikan aku cinta lagi
Berikan aku kehangatan itu lagi
Yang menyusup begitu hangat ketika aku menyebut namamu,setelah begitu lama kau ku tinggalkan
Harum
Auramu begitu hangat
Merangkai detak jantung kita hingga tiba pada satu ketukan yang sama
Buat aku mencintaimu lagi
Kali ini aku akan diam menanti
Dan dengan sabar menerimamu kembali
Rumkupkup
15 Januari 2010
Untuk: kekuatan yang lebih besar!
Langganan:
Postingan (Atom)