Sepotong asa dalam alunan angklung di bulan sabit yang menjuntai. Ada mereka, ada aku dan yang paling penat adalah ada benakku. Semuanya terjalin seperti jaring laba-laba di pojok blog ini.
Minggu, November 30, 2008
Ketika kau pulang kepadaku
Kamu datangi aku tadi malam, seperti mahluk rapuh yang butuh pelukan. Dan aku memelukmu lama, hingga kau tertidur diatas telapak tanganku, dan kau memindahkan wajahmu dekat hingga ke perutku. Sekedar untuk menenangkan hatimu dan tubuhmu yang ringkih itu.
Aku menikmati napasmu yang teratur, yang tidak seperti napasku.
Dan aku menikmati bau tubuhmu dan bau napasmu yang kamu berikan secara bertubi-tubi ke seluruh wajahku.
Kamu sakit. Kamu kelelahan. Kamu khawatir. Kamu lebih dari sayang ke aku.
Aku tahu.
Karena aku juga begitu.
Karena begitu juga aku.
Kamu yang berusaha meyakinkan aku bahwa kamu melakukan ini semua demi kita
Kamu yang melirihkan jangan pernah meneteskan air mata
Karena kau tidak pantas menerimanya
Kamu yang menyatakan bahwa kamu pergi bukan untuk menghilang
Kau pikir aku percaya?
Kau yang datang tadi malam
Dan selalu malam yang kau pilih untuk menghampiriku
Karena seperti yang selalu kau katakan di setiap ada kesempatan yang kau cicil itu
Kamu menganggap aku malammu
Dan aku tersanjung
Menatapmu tertidur atau berusaha tidur itu menjadi sesuatu hal yang tidak ingin terenggut dari apapun
Ingin abadikan momen itu dalam daya ingatku, daya tubuhku, daya hatiku
Karena aku percaya selamanya kau akan ada di hatiku
Dan aku menarik napas sangat dalam sembari menyebut namamu dalam hati
Aku ijinkan kamu masuk ke relung hatiku dan mulai berwujud sesuatu yang selama ini telah mati
Malam yang hening dinihari tadi merupakan saksi abstrak akan dua manusia yang saling merasa
Meski melalui tatap mata
Karena kamu seseorang yang bisu
Dan aku seseorang yang nyaring
Tapi diam adalah kata yang tepat untuk momen tadi malam
Ketika kamu pulang kepadaku
Dan merebahkan hati, dirimu dan kepasrahanmu padaku
Nikmati aku selagi kau bisa
Reguk aku selama masih ada sisa waktu
Manfaatkan aku untuk kelaki-lakianmu
Aku rela
Aku cinta
Aku ikhlas
Coba belajarlah percaya
Hal ini bukan keadaan yang biasa
Tapi kita, satu sama lain bisa saling memilih dan menunjuk hati masing-masing
Dan jujur, kepada siapa sebenarnya hati kita mulai berlabuh ....
Minggu, 30 Desember 2008
Pk. 13.34 WIB
Rumah Barbie yang akan segera aku tinggalkan
Dalam kerinduan akanmu!
Aku dimana-mana
Sesekali ada senyap yang hinggap diantara kita, tidak jarang juga kalian mengambil alih sekian detik dari napasku hanya untuk ingin berujar bahwa aku sayang kalian.
Puluhan warna telah kalian torehkan diatas diriku yang tak pernah menyukai keintiman,tetapi kali ini ketika aku memasrahkan diriku pada genggaman persahabatan ini, perlahan aku mulai percaya bahwa apa yang kita miliki sekarang memang luar biasa.
Senyuman, kehangatan, telinga dan tawa kalian itu mulai menjadi bagian detak hidupku.
Kesetiaan dan kasih sayang yang kalian curahkan kepadaku sangat menenangkan jiwa-jiwa kita bertiga yang kering.
Jika akhir tahun nanti aku tidak kembali ke pelukan kalian lagi, pastikan dan yakini saja bahwa kalian adalah perempuan-perempuan terhebat yang pernah aku hayati.
Jangan ingkari pedih yang nanti akan menyertai,
Jangan sakiti seseorang yang akan selalu hadir di kenangan kalian dimana saja kalian pijakkan kaki kalian.
Aku tidak akan kemana-kemana
Karena aku selalu berada dimana-mana …
Rumah Barbie
Dalam firasat
29 November 2008
Pk. 01.17 WIB
Senin, November 24, 2008
Lebur, satu diantara dua
Nafasnya melenguh di atas bibirku, kulitku, telingaku, leherku sambil ia sibuk mengayuh tubuhnya didalam diriku.
(ketukan ¼, ketukan 1, ketukan ½, ketukan 1, ketukan ¾, ketukan 1)
Kulitnya serta merta lembab karena keringat, ketika aku menjilat kulitnya dengan seluruh pori-pori tubuhku yang terbuka lebar aku merasakan rasa birahi aroma tubuhnya yang pekat.
(ketukan ¼, ketukan 1, ketukan ½, ketukan 1, ketukan ¾, ketukan 1)
Ia sibuk mengayuh, aku sibuk mengaduh
Ia sibuk membubuhkan bibirnya diatas bibirku yang berisik
Ia sibuk menusuk matanya kedalam mataku yang memperhatikan wajahnya ketika berada diatasku
Ia sibuk melenguh dan mengayuh
Ia sibuk menentaskan kelaki-lakiannya di dalam keperempuananku
(ketukan 1, ketukan ¼, ketukan ½, ketukan ¾ , ketukan ¾, ketukan ½ )
Aku merejam
Aku terpejam
Aku bisa merasakan dia kejam
Terus ... terus ... dan terus ....
(ketukan ¼, ketukan 1, ketukan ½, ketukan 1, ketukan ¾, ketukan 1)
Aku hanya sibuk merasakan ketukannya ....
Aku hanya sibuk merasakan keras tubuhnya di dalam tubuhku
Aku hanya sibuk terpejam
Aku hanya sibuk mengaduh
Aku hanya sibuk merasakan buncahan rasanya
Lebur, satu diantara dua ...
(ketukan ¾, ketukan ½, ketukan 1, ketukan 1, ketukan 1, dan ketukan lainnya)
teruskan dan jangan berhenti ...
aku ingin kamu terus berada dalam hati, pikiran dan tubuhku ...
sudah terlanjur diriku tenggelam dalam dirimu
Senin, 24 November 2008
Pk. 20.05
Pembenaran kenangan yang terjadi dinihari tempo hari
Selalu Nawi, kali ini diruang tengah
Sabtu, November 22, 2008
Teman hatiku
Teman hatiku
Sepertinya semua menjadi sesuatu yang tidak terjawab
Ketika aku menutup telinga dan membutakan mata
Yang kudapat hanya wajahmu
Dan aku hanya bisa menunggu
Coba sampaikan pada sesuatu hal yang kau simpan selama ini
Karena kau pikir kau sudah menetapkan jawaban
Tapi hati dan pikiranmu tidak sama
Pikiranmu inginkan perpisahan
Tapi hatimu menginginkan aku
Aku takjub akan semua di dirimu yang sebenarnya terlihat berkilau
Kau boleh tak percaya
Tapi beginilah adanya
Seperti hatiku kini
Mendambakan sebuah kesendirian
Yang dimana aku tahu itu tidak mungkin
Karena hatiku sudah memilih kamu sebagai temannya
D’place
00.26 WIB
22 November 2008
Kamis, November 20, 2008
Tidak untuk dimiliki
Aku tidak ingin dimiliki
Juga tidak ingin memiliki
Aku ingin dicintai
Dan juga mencintai
Tapi jangan pernah sekalipun kau bawa aku kepada satu titik
Yang akan membuat semua arus listrik diantara kita berdua menjadi terhenti
Tidak perlu khawatir aku akan menuntutmu untuk memberikan keputusan
Karena bukan itu yang aku butuhkan
Teritoriku hanya antara aku dan kamu
Kekuasaanku adalah ketika aku bersamamu
Kontrolku adalah aku ketika tidak berusaha mengendalikanmu
Kebebasanku adalah dengan tetap memujamu
Jangan pula kau ajak hatimu untuk menuruti egomu untuk memilikiku
Pahami saja bahwa aku bukan seseorang yang mampu bertahan sendiri
Aku butuh kamu untuk menepis sepi
Aku butuh kamu untuk membuatku mampu berdiri
Sadari bahwa kau butuh aku juga untuk membuatmu tetap bermimpi
Selayaknya kau hargai semua kisah kasih yang telah memberikan arti ini
Nikmati saja keliaranku
Ikuti saja kemana aku membawa kamu
Bisa saja dalam sekejap aku berlalu
Bisa saja dalam sekejap aku membeku
Dan tidak menutup kemungkinan aku nanti yang akan jemu
Yang pasti hatiku telah menunjuk kamu!
Wisma PKBI, Bandung
Kamis, 20 November 2008
Pk. 00.17 WIB
Rabu, November 19, 2008
Aku tidak paham
Aku tidak paham. Kau terus menerus berucap padaku, “jangan tunggu dan harap aku!”. Kau hanya bisa membuatku mati langkah dengan katalimat yang kau pikir itu adalah kalimat saktimu.
Sekarang aku tanya, jika kau rasa apa yang aku rasa saat ini, dan aku mengatakan hal demikian, aku ingin dengar kau akan berkomentar apa?
Jangan salahkan aku jika penuh rasa kepadamu. Kau pikir aku ingin mendapatkan kenikmatan rasa yang lumer ini di seluruh sendi tubuhku?
Kau pikir aku bahagia dengan menantimu?
Rasa ini yang membuatku seperti berharap-harap cemas.
Rasa ini yang menciptakan asa.
Bagaimana bisa kau tentang hati dan pikiran menjadi dua hal yang kontradiktif?
Jangan kau minta aku untuk menjelaskan ini dalam bunyimu yang abstrak itu.
Pernahkah kau coba untuk mengerti? Setidaknya, cobalah untuk memahami ....
Semua hal ini bukan aku yang minta ....
Bukan aku yang memohon dan menghiba agar rasa ini pergi, terkikis dan pada akhirnya hilang
Aku ini cuma manusia biasa.
Hanya perempuan biasa yang tidak memiliki apa-apa.
Kecuali kesadaran naifnya tentang seluruh rasa yang dia miliki sekarang.
Aku lelah.
Aku lelah selalu di rajam.
Aku lelah selalu di abaikan.
Aku lelah selalu menunggu.
Cobalah mengerti dan memahami ….
Jika rasa ini rasamu …
Apakah kau akan mengalami kegilaan yang sama?
Jakarta, 19 November 2008
Dalam penghinaan.
Pk. 01.45 WIB
Minggu, November 16, 2008
Madu
Pintu bersekat beling itu terbuka, dan menyemburlah lendir berjenis kelamin perempuan itu. Jalinan huruf yang muncrat dari pintu itu luar biasa bau. Satu kata saja yang aku muntahkan dari lubang hidungku. Keji!
Telapak kakiku berjingkat-jingkat menapak diatas tanah kering retak nan tandus. Pintu itu dan huruf-hurufnya masih mencucurkan ludah berbau burung merpati yang habis bersenggama. Anyir! Tubuhku meliuk diantara ranting berderak yang rapuh. Betisku mengejang, pinggulku bergetar. Aku pikir aku orgasme, ternyata aku sekarat.
Sebuah tambur besar di tengah padang pasir.
Tidak ada pemain. Hanya ada angklung bambu yang berbunyi karena ada angin yang menerpanya lembut. Rambutku bergoyang ke kanan dan ke kiri mengikuti laju tubuhku. Tanpa telapak tangan aku menggapai bintang dan memberikan kepadanya. Sebagai simbol apa yang disebut rasa. Kecupan bibirnya membuat jiwaku hening. Kain yang tersulam diatas kulitku mendadak luruh. Keperempuananku bangkit dan aku terangsang. Kukunya bersenandung diatas payudaraku. Suram cahaya matahari, simbah peluh dan diiringi debur tambur besar ditengah padang pasir kami bercinta. Intim. Aku yakin ini cinta.
Diatas gulungan ombak mata kami bertemu, sementara ujung kainku tersangkut sampan yang membawa kami ke tengah, tubuhnya merengkuh aku masuk kedalam jiwanya yang senyap. Aku bisa dengan kental mengendus bau laki-laki jatuh cinta. Aku sanggup pertaruhkan segalanya jika saja kelaki-lakiannya tidak bercabang.
Bibirnya merajuk dalam mulutku, sekali lagi hatiku yang pecah kemarin sore lunglai. Rasa ini adalah rasa singkat, fana bukan miliknya, tapi milik diriku. Bukan dia, tapi dia yang lain.
Mencintanya seperti menghamba. Bercinta dengannya seperti bercinta dengan gurita. Liar dan lezat. Aku mengeja huruf-huruf dirinya satu persatu diatas pasir busuk.
Zahir.
Zahir.
Zahir?
Aku dengar ada tempo yang kian melambat.
Aku rasakan ada yang jatuh dan bersimbah darah
Ternyata sebuah janin setengah jadi
Wajahku tenggelam dalam lilin meleleh di dekapan kelopak matanya.
Aroma bunga kuburan memberikan aku kesadaran. Aku terbangun diatas nisan kosong tanpa judul. Aku menyapu rumput berembun yang tumbuh diatas tanah dengan tungkai kakiku yang telanjang. Bulan berdiri tegak di pelupuk mataku yang besar dan menatapnya jalang. Bilamana ini hanya satu detik mimpi yang terkait begitu mesra pada merpati yang sedang bercinta? Lengah kah aku menyingkat satu detik malam bersamanya untuk aku tukar dengan keperempuananku?
Layaknya lidahku yang sudah mengucap tadi
Mencintanya seperti menghamba
Peliknya aku bukan seonggok ngengat bodoh yang didambakannya
Aku kupu-kupu sore berwarna biru
Yang sedang mencari pasangan kalbu
untuk tidak hanya sekedar disentuh dan dicumbu
tetapi untuk berbagi segala menit dalam hitungan waktu
Meski itu untuk jiwa bertubuh seribu
Aku pastikan aku sanggup mempersembahkan madu
Ruang depan, Lebak Bulus 2
Jakarta, Jumat, 12 September 2008
Tamat Pk. 23.08 WIB
Oleh: Sekar Wulan Sari
Jumat, November 14, 2008
Aku ingin
Aku ingin pulang
Tapi tidak tahu mesti kemana
Aku ingin merebahkan jiwaku pada seseorang
Tapi tidak tahu kepada siapa
Aku ingin merasakan ada yang memelukku erat hingga membuatku sesak
Tapi tiada siapapun
Aku ingin bibirku di dekap dalam bibir seseorang
Tapi tiada bibir yang mampir
Aku ingin menjemput pagi
Aku ingin mendatangi sore
Aku ingin menikmati malam yang suci
Dalam kesadaran yang sakral
Aku ingin diriku penuh
Tidak kosong seperti saat ini
Aku hilang
Tenggelam
Luruh jatuh
Apa aku mesti kembali ke bumi?
Aku menyentuh dadaku
Ada jantungku disana
Ada sumber hidupku disana
Ada detakku disana
Ada denyutku disana
Ada banyak cinta disana
Ada seseorang disana
Ada harapan disana
Ada AKU disana
Apakah aku akan kehilangan itu beberapa saat lagi?
Entahlah
Aku ragu
Aku ingin pulang
Rebah
Diam
Sejenak
Aku ingin tidur
Hening
Sekejap
Bermimpi
Aku ingin sepi ini di rajah
Di atas kulitku yang dingin
Aku ingin pedih ini di abadikan
Di dalam rasaku yang mulai berkarat
Tubuhku menggeliat
Jiwaku berteriak
Ternyata sepi itu menggigit
Pedas
Ternyata sendiri itu tidak lezat
Bolong
Air mataku sudah menjadi bulir siksa bagi pori – pori wajahku
Karena terus menerus mengucur tanpa permisi
Kematian memang tamu yang tidak diundang
Manusia hanya bisa mengalah
Dan waktu bukan sesuatu yang bisa kita hentikan
Manusia hanya bisa menjalani setiap ketukan nadanya
Mulutku melahap segala jerit yang keluar dari jiwaku
Lidahku terlipat gelap
Aku tenggelam sudah
Terbenam
Aku enggan menantang hidup lagi
*kain putih menutup wajahku yang membeku
Rajaku, istanaku, kotak kecilku
H. Nawi 1 no 1 a
Kamis, 13 November 2008
Pk. 15.08 WIB
Selasa, November 11, 2008
Itu saja
Aku persilahkan kamu untuk mengayunkan tanganmu ke kanan, ke kiri, ke atas, ke bawah dan kemana saja tanganmu ingin bergerak
Aku ijinkan kamu untuk membawa pikiranmu tentang aku kemana saja kau hendak bawa ini semua pergi
Karena kali ini aku tidak akan menjejalimu dengan caci makiku lagi akan semua tuntutan yang datang dari hati dan pikiranku tentang kamu
Aku biarkan kamu melanglang buana ke negeri yang kau bilang ‘cimbla kuntuspila’ itu untuk mengejar semua mimpimu
Aku bebaskan kamu untuk berlebihan menorehkan banyak sayatan ke atas luka menganga yang terus menerus kau toreh ini
Karena saat ini aku sedang tidak mengingankan apapun kecuali segala hal yang terbaik di bumi demi hidupmu
Aku relakan satu saat nanti kau pergi dengan segala hingar bingar kehidupan yang dalam waktu dekat menantimu dan menggoda idealisme mu
Aku pastikan bahwa aku akan tetap berdiri, duduk, terbalik, terjungkal, melintir, berputar mengamatimu
Karena kini aku mulai paham siapa kamu sebenarnya
Dan aku juga mampu memberikan garansi akan perasaanku ke kamu siap meledak kapan saja aku mau tanpa perlu kamu tahu
Dan aku juga mampu memberikan keyakinan ke diriku sendiri bahwa aku memang tidak menyukai ’asas kepemilikan’ dalam sebuah relasi yang pada akhirnya hanya menjadi sebuah penjara atas cinta itu sendiri
Dan itu semua karena aku ya aku
Seorang perempuan yang berbeda dari perempuan kebanyakan
Bukan dia, dia dan dia yang melingkar banyak dalam kehidupanmu kemarin, saat ini, esok atau nanti beberapa saat lagi
Hanya seorang mahluk hidup yang terdiri dari roh dan tubuh yang senantiasa merasakanmu dalam setiap detak napasku
Karena modalku ke kamu sejujurnya hanya ’rasa’ ...
Cuma cinta ...
Itu saja!
Kembali ke pondok kupukupu
Selasa, 11 November 2008
Pk. 00.39 WIB
Sabtu, November 08, 2008
Kamu
Ternyata begini rasanya berada di persimpangan jalan. Ketika kamu menoleh ke belakang, ke samping, ke depan, tidak ada siapa-siapa di sana kecuali dirimu sendiri. Ketika kamu sibuk mencari jawaban yang sebenarnya bisa kamu temukan dalam hatimu sendiri. Ketika kamu sibuk menolak dan menyangkal semua perasaan yang sedang campur aduk dalam jiwamu sebenarnya kamu hanya perlu menerima itu semua sebagai bagian dari proses pendewasaan jiwa. Dan kamu sungguh-sungguh tidak memiliki pilihan lain selain menghadapinya. Entah untuk mencintai, dicintai, memberi, menerima, mengalah, mengikhlaskan, merelakan, meratapi, menangisi, ditangisi, khawatir atau bahkan di khawatiri oleh orang-orang terdekat.
Ketika kamu berusaha menjauh dari orang-orang tercinta dan meyakini bahwa ini salah satu jalan terbaik untuk mengakhiri sebuah hubungan.
Ketika kamu berusaha untuk menerima dan mencintai tubuh dan dirimu sendiri dan pada saat yang bersamaan seluruh logika mu memaksakan hal kebalikan dari itu semua.
Sebenarnya dimana letak kesalahannya?
Mungkin jiwamu yang kerontang
Mungkin rasamu yang beku
Mungkin akalmu yang terlalu meninggikan egomu
Mungkin penerimaan mu akan dirimu memang tidak ada
Hal-hal yang sifatnya semakin ditentang akan semakin keras menerjang
Dan disinilah aku
Sendiri
Kesepian
Hampa
Senyap
Redup
Meratap
Mendambakan sebuah kebahagiaan
Tuhan, apakah aku menjadi bersalah ketika menginginkan itu?
Apakah aku memang sunguh-sungguh tersesat sudah?
Masih bisakah aku berlari kencang seperti yang sudah-sudah?
Masih bisakah aku berjumpalitan dengan segala kekosongan diri ini?
Dan disinilah aku sekarang
Mencari jawaban
Siapa sesungguhnya aku
Dan mengapa semua kejadian ini terus menerus mendera hidupku
Aku terpuruk diujung hati
Meringkuk
Seperti bayi dalam rahim
Menantimu
Menunggumu
Dengan harap-harap cemas
Mengandalkanmu
Untuk menyelamatku
Dan membawaku pergi ketempat dimana aku bisa tenang dan damai
Bisakah itu menjadi Kamu?
Yang aku tahu
Aku hanya menginginkanmu
Aku hanya membutuhkanmu
Aku ingin kamu hadir dan mengisi kekosongan jiwaku
Aku ingin kamu menemaniku
Aku ingin kita menerima rasa ini tanpa syarat
Hanya pasrah menerima isyarat
Dan menemukan dalam diri masing-masing semua firasat
Tentang apapun diantara kita yang mulai tersekat
Tetaplah disana
Tetaplah disini
Tetaplah disitu
Tetaplah dimana-mana
Dimana aku bisa menemukanmu dalam hujan yang mengguyur ujung jalanku
Dimana kebekuanmu layaknya es yang mendinginkan kerontangku
Dimana sentuhan tanganmu bisa menyulut panas di tubuhku
Dimana kecupan ringanmu memang segala hal yang aku inginkan saat ini
Jangan pergi
Tetaplah bersamaku
Sampai takdir yang memisahkan
Sampai salah satu dari kita lelah
Dan merelakan waktu yang akan membuktikan
Siapa yang menjadi malaikat
Siapa yang menjadi iblis
Siapa yang akan menjadi juaranya ....
Dalam Kristalku
Sabtu, 8 November 2008
Pk. 09.28 WIB
Jumat, November 07, 2008
Menunggu mati
Ada senyap
Yang meratap
Dan diriku merasa mendadak di sergap
Oleh gelap
Ada hina
Ada gulita
Ada cinta
Ada dia
Terbujur kaku
Beku
Tak mau tahu
Tak peduli akan aku
Tubuhku kejang
Karena diterjang
Oleh kelaki-lakiannya yang telanjang
Yang semestinya bisa membuat perempuan mana saja merasa di rajang
Tapi ternyata aku tetap disini
Sepi
Sendiri
Menunggu mati
Pondok Kupu-kupu
Jakarta, 7 November 2008
Pk. 00.56
Senin, November 03, 2008
Entah lah
Kamu bisa menemukan aku dalam pijar bintang di langit
Kamu bisa merasakan aku seperti kamu merasakan dirimu sendiri
Karena sesungguhnya aku begitu dekat dengan dirimu
Seperti napas yang tiap saat kamu hela
Sekedar untuk menyambung hidup
Kamu bisa dapati aku sedang tertawa
Kamu bisa dapati aku sedang menangis
Dan melakukan keduanya dalam waktu yang bersamaan
Itu pasti karena aku sedang berada di titik nadir
Aku pikir malam dan gitar memang kombinasi yang unik
Ketika ada alunan nada yang keluar dari petikan gitar
Ketika ada gelap yang turun dari malam
Mungkin saat itu malam dan gitar bertemu
Dalam keheningan yang senyap, hampa tapi saling merajah
Dan keunikan hubungan ini tidak akan aku usik
Aku sudah terlanjur asyik
Aku membutuhkannya seperti daun membutuhkan matahari
Aku menginginkan dia ada disekitarku seperti aku menginginkan jantungku kembali sehat
Aku paham betul rasa apa yang kumiliki untuknya
Dia telah memberikanku pelajaran tempo hari
Yang membuatku mampu mengukur perasaanku sendiri
Dan itulah
Bahasa yang akan aku pilih untuk tetap bertahta di hatiku hingga entah kapan
Mungkin hingga takdir membuat senar gitarnya putus
Atau malam yang akhirnya tidak akan muncul karena sudah terlanjur pagi
Entah lah
Senin, 3 November 2008
Pk. 00.30 WIB
Lebak Bulus,
Di pondok kupu-kupu
Langganan:
Postingan (Atom)