Minggu, November 16, 2008

Madu


Pintu bersekat beling itu terbuka, dan menyemburlah lendir berjenis kelamin perempuan itu. Jalinan huruf yang muncrat dari pintu itu luar biasa bau. Satu kata saja yang aku muntahkan dari lubang hidungku. Keji!

Telapak kakiku berjingkat-jingkat menapak diatas tanah kering retak nan tandus. Pintu itu dan huruf-hurufnya masih mencucurkan ludah berbau burung merpati yang habis bersenggama. Anyir! Tubuhku meliuk diantara ranting berderak yang rapuh. Betisku mengejang, pinggulku bergetar. Aku pikir aku orgasme, ternyata aku sekarat.

Sebuah tambur besar di tengah padang pasir.
Tidak ada pemain. Hanya ada angklung bambu yang berbunyi karena ada angin yang menerpanya lembut. Rambutku bergoyang ke kanan dan ke kiri mengikuti laju tubuhku. Tanpa telapak tangan aku menggapai bintang dan memberikan kepadanya. Sebagai simbol apa yang disebut rasa. Kecupan bibirnya membuat jiwaku hening. Kain yang tersulam diatas kulitku mendadak luruh. Keperempuananku bangkit dan aku terangsang. Kukunya bersenandung diatas payudaraku. Suram cahaya matahari, simbah peluh dan diiringi debur tambur besar ditengah padang pasir kami bercinta. Intim. Aku yakin ini cinta.

Diatas gulungan ombak mata kami bertemu, sementara ujung kainku tersangkut sampan yang membawa kami ke tengah, tubuhnya merengkuh aku masuk kedalam jiwanya yang senyap. Aku bisa dengan kental mengendus bau laki-laki jatuh cinta. Aku sanggup pertaruhkan segalanya jika saja kelaki-lakiannya tidak bercabang.
Bibirnya merajuk dalam mulutku, sekali lagi hatiku yang pecah kemarin sore lunglai. Rasa ini adalah rasa singkat, fana bukan miliknya, tapi milik diriku. Bukan dia, tapi dia yang lain.

Mencintanya seperti menghamba. Bercinta dengannya seperti bercinta dengan gurita. Liar dan lezat. Aku mengeja huruf-huruf dirinya satu persatu diatas pasir busuk.
Zahir.
Zahir.
Zahir?
Aku dengar ada tempo yang kian melambat.
Aku rasakan ada yang jatuh dan bersimbah darah
Ternyata sebuah janin setengah jadi
Wajahku tenggelam dalam lilin meleleh di dekapan kelopak matanya.

Aroma bunga kuburan memberikan aku kesadaran. Aku terbangun diatas nisan kosong tanpa judul. Aku menyapu rumput berembun yang tumbuh diatas tanah dengan tungkai kakiku yang telanjang. Bulan berdiri tegak di pelupuk mataku yang besar dan menatapnya jalang. Bilamana ini hanya satu detik mimpi yang terkait begitu mesra pada merpati yang sedang bercinta? Lengah kah aku menyingkat satu detik malam bersamanya untuk aku tukar dengan keperempuananku?

Layaknya lidahku yang sudah mengucap tadi
Mencintanya seperti menghamba
Peliknya aku bukan seonggok ngengat bodoh yang didambakannya

Aku kupu-kupu sore berwarna biru
Yang sedang mencari pasangan kalbu
untuk tidak hanya sekedar disentuh dan dicumbu
tetapi untuk berbagi segala menit dalam hitungan waktu
Meski itu untuk jiwa bertubuh seribu
Aku pastikan aku sanggup mempersembahkan madu





Ruang depan, Lebak Bulus 2
Jakarta, Jumat, 12 September 2008
Tamat Pk. 23.08 WIB
Oleh: Sekar Wulan Sari

2 komentar:

  1. Keren fotonya euy...dikumahakeun carana?hehehe...kalo tulisannya belum dibaca teu kaburu...heheheh

    -www.findfebrian.wordpress.com-

    BalasHapus
  2. Keren Tulisannya...

    www.findfebrian.wordpress.com

    BalasHapus