Sabtu, Desember 13, 2008

Apa kau bilang?


Baiklah aku menyerah. Aku angkat tangan. Aku porak poranda sudah. Puting beliung sudah mencincangku habis-habisan. Aku kehabisan napas. Aku sudah compang camping kini. Puas?

Baiklah aku angkat kaki. Aku sudahi dengan banyak jeritan! Aku akhiri dengan teriakan ”bangsat!” dalam mulutku yang bungkam. Lidahku melintir. Gusiku rontok. Gigiku pecah. Kau bisa lihat siluet tubuhku menganga.
Apa katamu? Pasrah?
Bisa jadi ...
Ternyata aku bangsat!

Baiklah aku tertidur. Belajar untuk sabar. Menanti. Menghadapi. Tidak lari.
Apa kau bilang? Ikhlas?
Mungkin ....
Ternyata aku pengecut!

Aku sibuk jingkrak-jingkrak, jadi gila.
Aku sibuk berteriak, mirip pesakitan.
Aku sibuk mencabik-cabik topengku, mirip drama
Merasakan kepalsuan ini mulai menjadi magma yang dalam hitungan detik siap meledak

Ayo! Hancurkan aku! Bunuh aku! Langsung! Tancap aku dengan belatimu.
Kau bilang apa?
Cinta?
Kau bilang apa?
Sayang?
Kau bilang apa?
Kembali?
Bukan!
Ini jelas dinamit!
Ini jelas sandiwara!
Ini jelas sebuah lakon!
Kau, aku, mereka, dia, dan yang lain-lain ...
Setengah menggantung di tiang kehidupan

Baiklah aku berlari, menuju pusat bumi, mencari pelangi, mejikuhibiniu!
Baiklah aku akan menangis disana dan merebahkan jutaan emosiku yang sudah menjadi bangkai, di pelukan matahari.
Meleleh
Lumer
Lengket
Bau anyir darah
Merah seperti mawar
Dengan duri-duri yang cantik menancap tepat bertubi-tubi ke kulitku
Dan aku akan bermahkotakan sebuah tanda kegilaan
Apa kau bilang?
Liar?
Apa kau bilang?
Bias?
Lantas apa lagi yang kau bilang?
Jalang?
Aku tergelak.

Cangkang tubuhku mulai merekah, bersamaan dengan kemurkaan, bersamaan dengan gemetar, bersamaan dengan pilu, bersamaan dengan takut, bersamaan dengan pendar-pendar cahaya yang bikin bola mataku retak
Kulitku mulai retak, bubuk-bubuk kehidupan mulai menguap, serpihan napasku mulai menipis
Dan aku limbung
Dan aku jatuh berlutut dengan diguyur hujan hitam kelam
Dan aku menangis dengan tangisan yang tak pernah aku tangisi sebelumnya
Rasa yang paling kental tercium oleh nadiku adalah takut
Wajahku bersimbah lendir
Tubuhku lumat oleh kehitaman yang legam
Apa kau bilang?
Mati?
Mungkin
Apa kau bilang?
Tetaplah hidup?
Mungkin

Aku telah memintal ribuan asa dalam balutan awan
Itu belum menjadi sebuah lukisan
Aku belum selesai mengecat langit
Perjalananku mestinya belum usai

Aku masih tetap ingin mengecat langit ....

Sabtu, 13 Desember 2008
Pk. 16.05 WIB
Sumber inspirasi:
Nawi yang akan segera kutinggal.
Gitar dan tamborin yang berisik di dapur
Bangku usang di pelataran kantor
AC yang membuatku sejuk
20 manusia-manusia hebat di Nawi
Serta ’luka’ yang kini entah dimana
Sampai jumpa lagi! Dikehidupan yang lain?
Mungkin!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar