Rabu, Desember 31, 2008

mulai 1996 hingga detik ini


Aku meraba namamu diatas batu nisan macam tuna netra membaca huruf Braille
Aku iba pada mataku yang terus diburai oleh air mata yang tidak mau berhenti
Aku ngeri pada tubuhku yang sibuk bergetar mengingat apa yang telah terjadi antara kita berdua selama 1996 - 2006
Aku mulas membayangkan seberapa banyak kejadian hebat yang sudah kita lalui bersama
Kini ketika setelah 2 tahun aku tidak pernah mengetuk ‘rumah’ mu
Aku tersadar sudah
Aku rindu kamu di belantara badaiku

Karena kamu adalah jiwaku
Karena kamu adalah deritaku
Karena kamu adalah persembahan sekaligus pengorbananku
Karena kamu adalah laki-laki yang aku cintai melebihi apapun di dunia ini melebihi kecintaanku pada diriku sendiri
Dan karena kamu aku tidak mampu lagi mencintai
Persediaan cintaku telah tandas
Telah kau reguk hingga ludas

Aku akui ketika mengurai air mata di atas ’rumah’ mu
Betapa luar biasanya kisah perang dan bendera putih antara kita
Aliran listrik trilyunan watt
Cinta terberat yang dipenjara oleh candu
Pengorbanan yang absolut

Aku iri kamu sudah merdeka
Sementara aku belum
Aku sampaikan salam dari perempuan mu yang kedua setelah aku,
Apakah kamu dengar ketika aku sampaikan dalam bisikku?

Aku membayangkan tanganmu yang magis itu menyentuh kulitku
Tidak seperti ketika kita pertama kali berkenalan
Karena kau memilih cara yang unik untuk menyampaikan salam
Kau hanya berikan sebuah lukisan, puisi, buah apel dan secarik kertas bertuliskan, ”Bidadari, boleh aku kenal kamu?”
Dan seketika itu kau sudah memiliki hatiku

Seketika itu aku tahu kau sudah memiliki hatiku
Dan maut menjemputmu pada 23 Mei 2006 dariku
Dan kita, pasangan kriminal yang saling memuja satu sama lain berpisah tidak lagi satu
Tidak lagi jadi candu

Tidak lagi satu
Hanya aku
Aku


Jakarta, 31 Desember 2008
Pk. 16.28 WIB
Kembali ke kotak inspirasiku, Nawi!
Kerinduan akan dia di belantara badaiku ...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar