Rabu, Desember 10, 2008

Jerit dimatanya


Ada dusta dimatanya, terlihat kelam. Ia bilang ia baik-baik saja dan bisa menerima keputusan itu, tapi aku tahu dia berbohong. Ia berdusta. Atas nama cinta yang ia usung sejak pertama kali kami bertemu.
Pipiku ada lelehan air mata. Terluka karena melukainya. Tapi aku tak sanggup menyimpan sesak itu begini lama. Aku tidak ingin meledak hebat dan membuat ia mati.

Hanya matanya yang nanar itu yang tersisa menatapku dalam.
Kali ini ia tidak mengusap lelehan air mata dari pipiku.
Aku bisa melihat tubuh ringkihnya bergetar menahan emosi.
Aku larut dalam kesedihanku.
Apakah ini sudah menjadi ucapan selamat tinggal?

Perasaanku campur aduk. Ingin sekali menggunakan logika. Tapi tak sanggup.
Satu-satunya teknis yang aku lakukan adalah berhenti menangis dan mengambil napas.
Dialog dini hari antara aku dan pasanganku terasa begitu lama.
Karena ada jeda.
Ada hening.
Ada desah amarah.
Ada kata-kata yang ingin dimuntahkan tapi rasa mual itu tak kunjung usai.
Sakit.
Berulang kali aku menggigit bibir menahan pedih.

Waktu seperti berjalan lama. Ingin sekali aku rebah dalam pelukan malam.
Tapi melihat langsung ke bola matanya aku tahu aku melukainya.
Tapi aku lebih tidak sanggup lagi melukai diriku sendiri dengan mempertahankan hubungan ini.
Aku menginginkan yang terbaik untuknya.
Dia patut mendapatkan yang terbaik.
Lebih baik dari aku.

Lebih baik ia sakit sekarang, daripada nanti
Ketika ia akhirnya sadar, bahwa aku bukan perempuan yang sesungguhnya dia butuhkan
Dan ketika aku sudah berubah menjadi perempuan yang berbeda
Karena sudah tenggelam oleh keinginannya sendiri untuk memiliku

Aku paham tubuhnya menjerit
Aku paham matanya berteriak, ”jangan tinggalkan aku!”

Tapi ini sudah titik ku
Sudah ujungku

Maka aku berpaling
Dan melepaskannya
Meski aku tahu, aku juga hancur karenanya

Catatan hidup di Agustus 2008

Tidak ada komentar:

Posting Komentar