Minggu, Desember 21, 2008

Bangsat, Delilah dan Kutil di pantat

Jidatmu benjol kejedot pintu
Aku cium, mendadak kempes
Nggak perlu aku kompres
Kamu juga cuma kasih aku senyum ’cengenges’
Aku, kamu, demen!

Badanmu bau bangsat
Aku cukur bulu ketekmu
Katamu, ”Aku bukan Samson!”
Kataku, ”Tapi aku Delilah, dan kamu bau bangsat!”
Katamu, ”Bukannya semakin bangsat aku semakin bajingan kamu?”
Kita berdua tertawa terkekeh-kekeh!

Tiba-tiba pada satu hari
Tumbuh kutil di pantatmu
Kamu mengadu padaku
”Deli...” (kependekan dari Delilah)
”Ya ...” jawabku
”Aku kok punya kutil?” katamu sambil sibuk buka celana dan memandang dengan cermat pantatmu di cermin ruang tengah kotak kardus yang kita sebut ’rumah’...
”Hah? Dimana?” tanyaku tenang
Kamu lantas menunjuk kutilmu dengan jarimu yang tinggal 4 buah ke salah satu area di pantatmu .... (karena ibu jarimu sudah kau pakai untuk mas kawin kita)
”Oh pantat!” jawabku tenang sambil tetap makan tempe goreng dan cabai
”Ini tidak nyaman!” jawabmu sambil berusaha mencabut kutil itu
Aku diam saja dan tetap menikmati tempe dan cabai
“Deli …” panggilmu lagi.
Aku letakkan cabai dan tetap mengunyah tempe.
“Apa sih?” tanyaku
“Aku mau operasi saja!” jawabmu pasti.
Aku geli, aku tahu kamu. Kamu kan cowok yang peduli penampilan. Hanya badanmu saja bau bangsat. Tapi aku cinta.
”Dan kau bajingan!” katamu sambil melempar mesra cabai rawit ke mulutku.
Hap! Aku kunyah bersamaan dengan tempe yang tinggal separuh di lidahku.

Tak lama berselang, kami berada di rumah sakit khusus kutil, dokter bertanya,
”Jadi ada masalah apa?”
”Kutil dok!” jawabmu
”Kutil? Oh ....., Anda harus melakukan rangkaian tes kesehatan dulu ....” jawab si dokter yang berjubah baju jelangkung, hitam, panjang, gelap, sok misterius ....
Pikiranku sibuk, dia ini dokter atau drakula?
Kamu sibuk dengan kutilmu dan ketakutanmu akan kutil yang mengganggu penampilan pantatmu
Kau ngeri reputasimu sebagai bangsat terganggu karena KUTIL
Jadi, dia ini, dokter ini, bangkai, manusia atau drakula?
Aku masih sibuk dengan dugaanku
“Serangkaian tes apa ya dok?” tanyamu lagi
“Yah, ada beberapa, misalnya tes darah, sudah berapa jumlah virus kutilmu dalam darah, kemudian, saya juga perlu mengambil contoh sedikit dari kutilmu, untuk tahu itu kutil tipe apa, berbahaya/tidak ....”
Aku menatap wajahmu
Kamu menatap wajahku
Ada satu tanya, ”Hanya untuk kutil? Yang ukurannya lebih kecil dari upil?”
Kita bertatapan, terkesima oleh jidat dokter itu yang menyilaukan karena jenong.

”Tapi ini hanya kutil dok!” jawabmu lagi
”Maaf ini sudah prosedur. Sudah ketetapan disini!” jawab dokter yang berjubah jelangkung arogan. Dagunya naik, matanya menyipit dengan tatapan menyelidik.
Aku tidak suka. Terbersit ragu. Tapi kamu tetap maju.
”Dan ini hanya operasi kecil dok!” jawabmu lagi, sekarang intonasi suaramu mulai gelisah, aku bisa merasakan itu.
Si bangsat terusik juga ternyata. Dia khawatir kutilnya jadi tumor mungkin.
”Loh, jangan sepelekan kutil dan asal muasal nya bos!” jawab si drakula lagi. Kali ini sambil memainkan pulpen yang dia ketuk2 diatas stetoskop berbentuk wajan.
Sayang dia nggak bawa sodet. Aku bisa sekalian menggoreng arogannya.
Aku jadikan ’balado arogan’.
Pasti lezat.

”Anda punya kutil, pasti karena latar belakang kehidupan Anda berisiko terinfeksi kutil!” jawab dokter itu lagi.
Hah?
Kali ini bikin kami berdua mulutnya ternganga-nganga. Mirip buaya lapar menanti daging segar.
Untuk kedua kalinya kami bersikukuh dalam sebuah tatapan.
Hanya satu hal yang terlintas dalam benak ...
”Benar, ini dokter drakula! Butuh darah segar sepertinya”
Kami berdua mengangguk.
”Kalian punya uang berapa? Ada uang, saya operasi, saya angkat kutilmu, dan pantatmu mulus lagi!” jawab dokter itu lagi. Kali ini dengan mata pembohong yang mengerjap-ngerjap. Silau uang.
Darimana dia tahu pantat si bangsat ini mulus? Diperiksa saja belum.

”Bagaimana kamu bisa tertular kutil?” dokter itu kembali memborbardir pertanyaan tolol.
Aku menyikut sikunya.
Memaksa dia untuk menjawab, si bangsat kebingungan.
Tersesat dalam mulutnya sendiri.
”Karena aku bangsat?” jawabmu jujur. Seada-adanya kamu. Pandir!
Dokter gila itu termangu.
”Pantas! Moralmu dimana sih?” tanya si dokter itu lagi.
Bah! Kali ini aku yang tersesat dalam jidatku sendiri. Aku atau dia yang gila?
Si bangsat sudah tidak bisa bicara.
Aku bertanya, sambil menarik tangannya.
”Bangsat! Kau taruh dimana moralmu?” sambil nyolek pantatnya yang bahenol.
Bangsat gelagapan.
”Aku nggak punya moral, moral apaan sih? Kan keluhanku, hanya karena aku punya kutil!” jawabmu polos dengan tatapan mata yang jujur.
Aku tahu, bangsat. Tapi si jelangkung sok suci ini bertanya!
”Dokter pernah punya kutil?” tanyaku balik.
“Oh, saya ini orang bermoral, sudah pasti tidak punya kutil, apalagi di pantat!” jawabnya lugas. Seperti bau kentut yang tidak berak seminggu. Super bau!
Bah!
Aku kehabisan akal.
Si bangsat semakin bengong.
Kita berdua nggak bisa berperan jadi si bangsat dan bajingan kali ini. Kami jadi semakin mirip pesakitan.
Perbincangan dengan dokter ini sudah tengik, kampret busuk!

Ternyata, banyak dokter yang memandang kutil sebagai moral. Mereka sibuk menerka ada apa dibalik tahi lalat sebesar biji jagung yang ada di muka banyak orang dan bagian tubuh manusia, dan menganggap dirinyalah yang memiliki moral.

Padahal, kutil itu barang langka.
Banyak orang kecil, punya kutil tapi nggak usil.

Kasian kamu bangsat! Kamu dianggap nggak punya moral hanya karena punya kutil.

Benar kata mereka, dunia sudah diisi oleh orang-orang yang penuh TAI lalat di tubuhnya, tanpa mengindahkan esensi dari kutil itu sendiri.

Lantas aku dan bangsatku meninggalkan ruang dokter itu dengan bekas pantat bangsatku yang berkutil dan sisa kentut ku sebagai oleh-oleh jam konsultasinya.

Sialan kamu, dok!
Tak pantas kau jadi dokter!
Otakmu penuh TAI lalat.
Kasian lalatnya.
Kau dijangkiti lalat munafik.



Lanson Place, KL – Malaysia
21 Desember 2008/Minggu
01.05 dinihari
Aku harap aku tetap menjadi kutil

Tidak ada komentar:

Posting Komentar