Jumat, Desember 12, 2008

September, April dan Agustus (3 periode waktu)


Dan aku kembali tersayat ketika melihat kamu datang sore tadi. Menatap matamu yang nanar itu seperti menampar wajahku dengan jutaan rasa bersalah. Mestinya kita tidak perlu bersama dari awal jika akhirnya mesti seperti ini, kembali menorehkan luka kepada hidup seseorang bukanlah hal yang ingin sengaja aku lakukan, menyentuh hidupmu dengan diriku juga bukan sengajaku.

Aku tahu kau datang untuk melepasku pergi, karena esok kau juga pergi.
Aku paham isi kepalamu, hatimu, emosimu, egomu, sebagai seseorang yang pernah menjadi pasanganku.
Aku membaca itu semua dari intonasi suaramu, gerak gerik tubuhmu, betapa kamu ingin terlihat ’terkendali’ dihadapanku.
”Jangan!” batinku .... ”tetaplah menjadi kamu” bisikku ...
Tiga tahun kita bersama bukan waktu yang sebentar untukku. Dengan kebersamaan dan keintiman yang dalam kau cukup membekas dalam hidupku.

Dan aku dengan sabar (kali ini) mendengarkan celotehmu, tentang hal-hal baru dalam hidupmu, tapi (kali ini) aku tahu kau berbohong.
Kau sesungguhnya sangat gelisah. Kau sesungguhnya marah. Kau sesungguhnya belum menerima perpisahan kita. Kau sesungguhnya memendam dendam.
”Kamu dendam kepada saya?” tanyaku pelan
”Ya!” jawabmu
”Apa yang kau dendam?” tanyaku lagi
”Entah .... jangan tanya itu ke saya” jawabmu lirih
Aku menarik napas panjang dan dalam.
Mengapa kau tidak mengerti juga?
”Kamu tahu, ketika beberapa minggu lalu kamu menemani saya hingga tertidur di ruang depan? Ketika saya dilanda ketakutan, kesepian, yang teramat sangat dan kamu hadir jam 2 pagi di depan pintu rumah saya?” tanya saya perlahan.
Kamu mengangguk.
”Ketika pagi saya terbangun saya tersadar dan paham bagaimana sesungguhnya perasaan saya ke kamu.” Aku menatap lekat bola matanya yang mulai menjadi kepingan kaca.
”Dan apa itu?” tanyamu penuh rasa ingin tahu. Aku menunda menjawab hingga kau selesai menyulut rokokmu itu.
”Bahwa porsi kamu dalam hati saya adalah sebagai teman. Sebagai sahabat. Kamu selalu bisa diandalkan untuk menjadi teman saya.” aku tahu jawabanku akan memecahkan kepingan kaca di matanya.
Dia mengangguk.
”Ya .... saya juga merasakan hal yang sama. Ketika paginya saya pulang, saya sadar tidak memiliki listrik itu lagi ke kamu.” jawabmu pelan.
Kali ini aku mencoba telusuri kebenaran kata-katamu melalui matamu.
Ah! Kamu pembohong besar!
Jangan tanya bagaimana aku bisa tahu, aku tahu karena aku bukan orang baru dalam hidupmu.

Aku menyenderkan punggungku pada kursi, menarik napas sekali lagi, menyulut sebatang rokok dan menikmati pemandangan yang akan aku kenang sepanjang sisa waktuku.
Kamu.
Kamu yang terluka.
Kamu yang dendam.
Kamu yang marah.
Kamu yang belum mengerti.
Kamu yang merasa bahwa kita tidak ada masalah.
Kamu yang penuh cinta kepadaku.

”Kamu sudah punya pacar lagi?” tanyaku mengalihkan pembicaraan.
Kamu tersenyum getir. Jarimu memainkan batang rokok, kau putar, kau hisap, kau hembus.
”Apa sih arti pacar?” tanyamu padaku.
”Entahlah. Mungkin seseorang yang sedang dekat denganmu saat ini?” jawabku lagi.
Kamu menatapku dan berusaha menemukan kata ’cemburu’.
Aku beku.
”Ada .... beberapa!” jawabmu, masih mencari kata ’cemburu’.
Kau tidak akan temukan itu dari aku.
Kata ’beberapa’ itu mengusikku, celah untuk berbohong. Aku tersenyum.
”Baguslah ..... ” jawab aku tenang sambil menepuk kakinya perlahan.
”Saya ikut senang.” jawabku lagi.
Kata ’beberapa’ itu sesungguhnya bukan kamu.
Kamu itu pencinta kesetiaan.
Kamu itu pengagum absolut.
Kamu itu memuja tunggal.
Tak mungkin kau punya ’beberapa’.

”Baik-baik disana!” katamu.
Aku mengangguk.
”Aku nyatakan sebagai laki-laki, kita resmi berpisah sudah.” katamu lagi.
Aku mengangguk untuk yang kesekian kali. Mencari kebenaran dalam katamu. Dan kali ini aku temukan itu.
Hatiku pedih seketika. Luka itu kembali terkoyak.
Menghadapi perpisahan memang bukan perkara mudah.
Aku bersamamu, kamu bersamaku.
Selama 3 periode tahun.
Sudah menjadi sebuah kebiasaan.
Bukan cinta.
Aku harap kamu paham itu.

”Apakah kamu masih sanggup berteman dengan saya?” tanyaku padanya.
”Aku harap begitu.” jawabmu.
Hening.
Wajar.
Bisu.
Perih.
Lega.
Usai sudah, episode aku dan kamu.
Aku resmi menjadi ’sendiri’.
Aku dengar itu dari mulutmu langsung.

Kita berdua saling melepas diri dengan ’hanya’ tatapan mata.
Ada luka menganga di matamu.
Ada luka terbuka di dadaku.
Dan kamu cium pipiku lama.

Maafkan aku ....
Telah mampir dalam hidupmu
Telah menciptakan mimpi barumu
Telah menorehkan belati dalam cintamu
Maafkan aku .... sekali lagi
Ini bukan sengajaku

Kita hanya dua manusia yang memiliki mimpi hidup yang sangat berbeda
Laksana minyak dan air, tak mungkin bersatu

Ambil momen penuh luka ini sebagai lembaran baru dalam hidupmu
Bahwa kau akan menemukan seseorang yang jauh lebih baik dan tepat sesuai kebutuhanmu
Raih dia seperti kau meraih hari-harimu sepeninggalku
Kau tak mungkin ku lupa
Laki-laki penuh kebaikan yang pernah aku punya

Ini titikku
Ini keputusanku
Ini sudah menjadi ketetapan hati dan pikiranku

Jika kita bersama, kita hanya mengawali sebuah akhir

Amaris,
Jumat dinihari, 12 Desember 2008
Pk. 01.43 WIB
Dalam pemulihan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar