Selasa, Desember 22, 2009

Tujuh


Aku pikir rasa itu semacam serangga
Lalu lalang mengganggu
Berkerumun
Lalu bubar

Karena cinta kalau kandas sudah seperti larung
Duka yang panjang selama sekian purnama
Tergantung luka yang ditikam seberapa dalam
Pulih hanya karena masa atau cinta lain hadir

Lekuk mata kita mulai melemah
Itu karena aku ”lihat” kamu
Aku harap kamu bisa ”lihat” aku
Dan menyimak aku dengan semua ingatan yang lembap ini

Aku pikir ini bukan pikiran maksiat
Jadi sebaiknya jangan kita laknat
Kamu indah seperti manikam
Kerap kali membuatku kagum hingga larut malam

Beri aku dirimu
Mau kau mulai dari keping yang sebelah mana
Akan aku terima dengan tenang atau dengan hati yang sendu

Beri aku dirimu
Mau kau mulai dari bagian pikiran yang sebelah mana
Akan aku simak dengan penuh kesadaran atau kendali

Cobalah untuk belajar percaya
Ijinkan aku masuk dan mengintip
Ke sisi lain dirimu
Dan secara perlahan duduk disana dan memelukmu dari dalam

Aku begini karena aku sadar
Aku begini karena aku paham
Aku merasa banyak hal ke kamu
Mulailah menepi dan diamlah disana

Rumkupkup
Selesai pk. 21.44 WIB
22 Desember 2009

Buat si Jagoan Neon!

Senin, Desember 21, 2009

*Lancang


Aku berani katakan kalau kau lancang
Karena telah berani mengayuh dari sebelah kaki yang pincang

Ketika kedua manik mata kita bentrok
Aku merasa jantungku dicangkok

Hati kita disemat dua ranting yang telah buyar di musim semi silam
Meski masing-masing dari kita memiliki sepasang cermin buram
Langit yang berwarna ungu itu telah mempertemukan kita untuk tidak sekedar mengucap salam

Aku pikir relasi yang kita jalin bukan fitnah
Setiap perseteruan memang mengoyak luka hingga bernanah

Aku pikir relasi yang kita jalin bukan pula sebuah drama picisan
Karena yang kita deskripsikan sudah cukup mirip dengan sebuah kartu undangan pernikahan

Aku rebah jatuh ke bumi
Seperti bernapas dalam air
Aku benci perasaan ini
Seperti dilaknat oleh gurun pasir

Bilamana kita tidak bertemu lagi di musim berikutnya?
Maukah kau tetap menunggu hingga tiba saat itu lagi?
Ketika mataku yang telah koyak
Ketika hatiku yang telah robek
Ketika egoku mulai congkak?
Maukah kau tetap menyematkan peniti di belahan jiwaku yang menganga?

Rumkupkup
00.15 WIB
21 Desember 2009

Sabtu, Desember 19, 2009

Bagaimana rasanya?


Sebuah keberanian untuk menaruh manik-manik di matamu
Percayalah, ini baru pertama kali aku lakukan

Gemetar aku menikmati bibir kamu pertama kali
Yang hinggap kering di atas dua lapis mulutku

Degup jantung serasa merobek permukaan kulit
Menikmati dikecup dengan kedua mata terbuka lebar

Remah jari-jariku dalam rengkuhan kelima jari tangan kananmu
Lunglai tak bersisa

Jika ini bukan rasa yang membuncah karena mendamba
Bisakah kamu coba sekali ini memberi nama?

Dan bibirmu kembali mampir diubun ubun kepalaku
Cara biasa untuk mengucap pamit

Bisakah kamu coba sekali ini memberi nama?
Bagaimana rasanya?
Bagaimana caranya kita menyamakan degup jantung berdua?
Agar kita senantiasa bersama?


Rumkupkup
Selesai pukul 23.15 WIB
19 Desember 2009

Jumat, Desember 18, 2009

Kamu pasti tidak tahu*




Kamu pasti tidak tahu kalau air mataku sedang berceceran
Hanya hujan yang menghirupnya kembali untuk menjadi embun

Kamu pasti tidak tahu kalau hatiku sedang bertalu-talu
Suaranya begitu gaduh tak henti menabuh

Kamu pasti tidak tahu kalau kulit tubuhku mulai menganga
Begitu kering dan pecah belah

Sebaiknya kita tidak perlu bertukar sanubari
Karena hal itu mulai terasa basi

Kamu pasti tidak tahu kalau rasanya begitu memilukan
Kamu, aku, sudah tidak memiliki getaran itu lagi

Terasa begitu jauh ...
Sangat asing!


Rumkupkup
Selesai pk. 14.30 WIB
18 Desember 2009

Senin, Desember 14, 2009

Enyah


Tak terperi
Sedu sedan yang tak cukup
Mengganti bau napasmu

Begitu menggigit
Begitu menusuk
Rindu dendam yang terbayar

Satu persatu retakan itu luruh
Tak terhitung
Telah menjadi serpih
Percaya yang usai

Kau lukai
Kau buat semua terasa hambar
Tak berharga
Tanpa coba dihargai

Biar kucoba membuat enyah
Pergilah
Aku lelah


Desember ke 14
Selesai pukul 00.17 WIB

Jumat, November 27, 2009

Ingin sekali


Ingin sekali menerima kamu pecah di dadaku
Tanpa perhitungan sama sekali
Ingin sekali menikmati kamu mengecap aku dalam mulutmu
Tanpa simbah peluh sama sekali

Ingin sekali mengangkat tubuhmu penuh dalam alunan lenguhan
Tanpa iba sama sekali
Ingin sekali menari diantara kedua matamu
Tanpa jeda sama sekali

Hanya ingin sekali membasuh kamu dalam rona hidupku
Hanya ingin sekali menikmati angkuhmu yang temaram seterusnya
Tanpa syarat sama sekali
Kali ini sungguh-sungguh ingin sekali

27 November 2009

Jumat, Oktober 30, 2009

Menanti ditantang kamu, lagi!


Sedang tidak ingin berlari
Hanya ingin sepi sendiri
Sedang tidak ingin menjerit
Hanya sedang ingin menikmati rasa sakit

Biarkan satu semua dalam larut
Biarkan satu semua dalam hanyut

Sedang tidak ingin melompat
Hanya sedang ingin sibuk mengumpat
Sedang tidak ingin tertawa
Hanya sedang ingin menggeliat dan bersendawa

Biarkan berkumpul seperti lalat
Biarkan terbentuk seperti ulat
Menggeliat

Satu umpat
Dua berkelit
Tiga umpat
Empat MENJERIT

Telapak kaki yang lelah
Mata yang jenuh
Hati yang retak
Pikiran yang pecah

Setidaknya aku masih disini
Dan belum mati
Akan tetap seperti ini
Menanti
KAMU menjemput AKU
Akan AKU tunggu KAMU
Sekali lagi menantang AKU
Akan Aku terima tantangan KAMU

10.53 AM
Melbourne
30 Oktober 2009

Senin, Oktober 26, 2009

Lengking gumam


Bergumam dengan melengking tinggi
Dicabik hingga kelapisan terakhir
Tak sudi
Dia bilang tak mati

Disentuh tanpa terjamah
Mengelilingi matahari yang berpendar jahat
Merindu bulan yang hampa akan bintang
Sedihnya tak kepalang

Cuma-cuma dia beri cinta
Ujarnya penuh cela
Waspada seperti ular berbisa
Dia bilang tak mengapa, semua wajar saja

Terbalik dan busung dengan angin
Tulang berderik seperti ular
Siapa?
Siapa yang inginkan ini?

Aku bukan si pandai pertanda
Maka dari itu beri aku tanda
Hingga aku bisa mengeja semua

26 Oktober 2009
00.45
Melbourne.

Jumat, Oktober 09, 2009

Biasa bukan rumit


Aku menemukan kesulitan ketika harus mengeja kamu
Sebaiknya kamu segera pergi
Agar aku bisa bisa bebas mengurai kamu
Satu demi satu
Helai demi helai
Akan aku rancang sedemikian rupa sehingga membuat mudah
Setidaknya meminimalkan kerumitan yang ada

Aku gunakan waktu secara sederhana
Untuk secara perlahan mempelajari kamu
Berusaha menemukan kepingan teka teki
Yang terurai dengan sangat baik di atas meja
Ada kamu, aku, kita terhampar disana dengan apa adanya

Ku akui ini cukup menantang
Aku ambil sikap untuk waspada
Jangan sampai kau curi sisa hati yang ada

Aku hanya sedang tidak ingin rumit
Hanya sedang ingin menganalisa kamu secara biasa

Santa
9 Oktober 2009/Jumat
01.40 Dinihari

Sabtu, September 19, 2009

*Satu lipatan sempurna*


Sedari tadi aku bingung bagaimana mesti melipat kamu
Semua hal yang berkaitan dengan kamu ingin aku letakkan dalam setiap cadar yang terhampar
Sekali, dua kali, tiga kali, aku mengulang lipatan dengan cara yang berbeda
Tapi belum juga menemukan lipatan yang yang sempurna
Senyummu tetap muncul
Matamu tetap timbul
Gerak gerik tubuhmu tetap memantul
Mendadak lidahku mandul
Tak mampu lagi melipat kamu
Tak bisa membuat jutaan lipatan tentang mata, senyum dan gerak gerik tubuhmu dalam satu lipatan yang sempurna

Dan sebenarnya
Aku ingin sekali merenggut kamu
Menculik kamu
Kemudian menyimpan kamu baik-baik dalam setiap helai lipatan benakku
Dan mencuri bau napasmu yang bau tembakau itu untuk aku abadikan dalam liang tenggorokku
Merampas semua sisa dirimu untuk aku simpan dalam toples hidupku
Agar aku bisa menyimak kamu
Agar aku bisa menikmati kamu
Agar aku bisa menyimpan kamu

Aku akan sekali lagi mencoba
Mencari pola lipatan sempurna
Untuk kembali mempesonamu dengan keahlianku membuat satu lipatan rasa



Santa,
19 September 2009
01.13 pagi

Sabtu, Agustus 29, 2009

*Usai


Kumohon, jangan jejali aku lagi dengan bulir-bulir penyesalanmu, hal itu sudah tak lagi berlaku. Tidak untuk kali ini, tidak untuk beberapa saat ke depan, karena kali ini aku akan merajah satu kata tepat di dahimu, yaitu USAI.
Jangan mendekat dalam hitungan satu meter, jangan beringsut berpikir bahwa kau masih layak berdiri sejajar dengan hatiku, jangan tuang senyum diatas getir bibirku, jangan layangkan belai ke kulit punggungku, karena semua sudah tiba, pada akhirnya tiba pada satu titik dimana aku telah menetapkan kita selesai.

“Aku ingin kita kembali, mengulang semua dari awal”, katamu
Aku tertegun dan mengucap.
”Apakah kita pernah memiliki sebuah awalan?”
Kamu kini yang tertegun. Dan aku kembali mengucap,
”Kamu datang dan pergi. Hilang dan kembali.”
Kamu menjawab,
”Ya itu aku!”
Aku menggeleng dan terpekur kemudian berkata,
“Baiklah kalau begitu. Hanya hatiku bukan layangan yang bisa kau tarik ulur sesuka hatimu”.
Kau terdiam dan membakarku dengan tatapan.
Aku menatap balik dengan porak poranda.
“Seberapa baik aku untukmu?”, tanyamu
“Tidak ada manfaatnya kamu untukku!” balasku.
Dia menghembuskan napas. Bau tembakau.
Aku merindukan bau itu.
“Tidak ada celah yang bisa kau buka?” tanyamu lagi.
Aku menatapnya lagi dan menggeleng,
”Tidak!” jawabku.

Kemudian kamu menatapku sangat dalam dan meninggalkanku dengan satu kecup di pucuk hidung. Kebiasaanmu. Rutinitasmu. Tidak mau mencium pipi, hanya pucuk hidungku.

Kau telah membelah hatiku. Kau satu-satunya orang yang membuat wajahku tirus dan kuyu. Kau pastinya tak seberapa tahu betapa perasaanku padamu sangat dalam. Tak tergali. Jauh. Tak berdasar. Tanpa nama.
Tinggallah disana, hanya sebagai bayangan.


Santa,
29 Agustus 2009
Selesai pk. 12.55 WIB

Sabtu, Agustus 22, 2009

*sekali lagi *


Menjelajahi dirinya dengan sekian hela napas yang tersisa
Tertinggal rasa yang terasah
Tanpanya, ruangan serasa kedap suara
Menghisapku hingga ke dasar kesadaran
Mendambanya
Kembali
Kembali kepadaku

Ku usahakan membuat pudar sinyal yang nyata
Ku abaikan lubuk hati yang telah memberikan jawaban
Mungkin dia, mungkin tidak, mungkin saja
Aku sibuk mengunyah curiga
Menelan bulat-bulat simpatiku agar tidak menjadi empati

Berkali aku bilang cukup dan sudah
Tapi kerap kali sanubari memanggil dan mendekap
Seluruh dia berkubang dalam angan yang terbang diatas awan
Semacam kain basah yang teronggok kusut di sudut ruangan
Dia tidak berpaling dan pergi
Dia justru mendekat dan menggenggam erat

Aku tetap sibuk merajam dan menghukum diri
Tak pantas, tak mungkin, mungkin pantas?
Caci maki sibuk hilir mudik
Rendah diri menjadi hantu gentayangan
Aku menghamburkan duka ke udara

Kali ini tanpa dia
Tanpa suara
Karena pedihnya luar biasa

Jatuh rasa, sekali lagi
Sekali lagi ...
Sekali lagi ...
Menginginkan seseorang ...
Hingga ke dasar kesadaran


22 Agustus 2009
Rumkupkup
23.00 WIB

Pasti, pasti, pasti


Menikmati setiap gumam yang terkulum dalam tenggorokan
Menahan napas hingga tersedak
Benci yang membuncah
Marah yang tersimpan rapat
Bau tak sedap, bau tak sedap, bau tak sedap


Mencarinya hingga ke hela napas terakhir
Memburunya seperti binatang yang mesti dibunuh
Air mata yang telah menguap
Sakit hati yang terlah terburai
Dia mesti mati, dia mesti mati, dia mesti mati

Menghilang tanpa jejak kearah selatan
Gemeretak tanah pecah, terbelah.
Seringai yang bertahta di bibir
Kilat dendam di sorot mata coklat tua
Kau pasti jatuh, kau pasti jatuh, kau pasti jatuh

Sebilah belati di tangan kanan
Kepalan tangan di tangan kiri
Rambut hitam legam bercinta dengan angin dahaga
Hati yang robek menyimpan sekian banyak tanya
Pasti, pasti, pasti.

Kau pasti mati ditanganku.
Sekarang, esok, 28 detik lagi, sekian tahun di depan.
Entah.
Pasti, pasti, pasti!

Kau pasti mati ditanganku.
Akan ku tunggu momen itu.




Santa,
22 Agustus 2009
22.17 WIB

Rabu, Agustus 19, 2009

*kali ini aku relakan


Begitu menggigit
Mulai terpasung
Sesak napas dimulai
Kali ini aku relakan

Lalu lalang dinihari
24 jam dalam sehari
Aku kerasukan
Kali ini aku relakan

Tidak benar bukan salah
Tidak tepat bukan maklum
Tidak hebat bukan acuh
Kali ini aku relakan

Dia tiup aku hirup
Dia terbang aku melayang
Dia senja aku dahaga
Kali ini aku relakan

Rumkupkup,
18 Agustus 2009
22.10 WIB

Senin, Agustus 17, 2009

... tiga ...


*Tiga

Tiga tangkai mawar dia tinggalkan diatas kasur
Minus dengkur
Beberapa detik hal itu membuat aku terpekur
Kemudian bersyukur

Aku berpikir ulang tentang satu kata menyerah
Rasa, yang selalu membuatku gerah
Tiba di titik yang paling bual, yaitu pasrah

Tanpa sayap megah dia tiba
Tentu saja tanpa tawaran apa-apa
Hanya beberapa alasan yang terdengar cukup sederhana

Itu saja cukup
Lebih dari cukup
Untuk membuatku gugup

Kali ini aku yakin sedang tidak menimba asa
Biarkan saja semua berlalu seperti apa adanya
Karena aku dan dia, beda tentu saja
Tapi dari sana dimulai segalanya

Dalam hitungan tiga
Aku dan dia
Berjalan bersama

Rumkupkup
02.40 WIB

17 Agustus2009

Senin, Agustus 03, 2009

Begini


Secarik kertas putih tanpa noda tinta
Kamu sedang bertahta
Dicoreng oleh satu garis hitam horisontal
Kamu ingin buat lubang diatas kapal

Bidak catur diatas hamparan hitam putih
Kamu kerap kali merintih
Daun kering berguguran jatuh
Kamu sedang mengoyak-ngoyak aku yang telah luruh

Berdiri di sudut kota
Kamu menantang mata
Diam sesak sendiri
Kamu berusaha merampok hati

Tidak perlu meyakini
Penuhi saja kalbu yang sepi
Semacam semilir ingin di dinihari
Tidak perlu banyak cakap yang nantinya akan menodai

Semua ini telah begitu murni
Tetapkan saja begini

Begini ...


H. Nawi
3 Agustus 2009
Pk. 20.48 WIB

Minggu, Agustus 02, 2009

*Merah Jambu*

Kamu memberi aku rona merah jambu
Dengan senyum terkulum dan sorot mata yang nyaman
Kamu sodorkan aku sebuah tawaran sederhana
Untuk menjadi yang terkasih

Kamu tidak janjikan aku awan bertaburan malaikat
Kamu tidak berikan aku harapan yang tergulung kabut
Kamu hanya menawarkan sebuah rasa sederhana yang memikat
Sekeranjang penuh rasa kasih sayang
Yang ketika ku cicipi sedikit terasa begitu manis
Aku pikir aku menyukainya

Kamu minta aku terus mengecat langit
Kamu sediakan banyak warna cat warna warni
Kamu sediakan waktu banyak untuk membantuku memilih warna
Dengan perlahan kamu telah memberikan aku pelangi
Mejikuhibiniu
Merah
Jingga
Kuning
Hijau
Biru
Nila
Dan
Ungu


Kamu bilang pipiku berwarna merah jambu
Dan berkali-kali kamu hanya akan menyapu pipiku dengan kecupmu yang lembut itu
Tak lebih dan tak kurang
Kamu telah melapisi hatiku dengan selimut baru

Sadarkah kau
Kau telah berubah menjadi merah jambu?


2 Agustus 2009
Roemkoepkoep
00.45 WIB

Sabtu, Agustus 01, 2009

Lowong


Begitu butuh seperti candu
Sesap hingga sesak
Terkuras hingga tandas
Kering melompong

Begitu merasa seperti kehilangan kendali
Laksana pecut yang menghabisi setiap sudut sendi
Nyerinya tak tertahankan
Aku pikir ini rasa yang mendamba

Cermin yang aku pecahkan tadi sore menyisakan perih
Wajahku terpantul melalui kepingan yang berserakan
Apakah aku menemukan kamu disitu?
Tidak, hanya aku dan luka

Tak tertandingi
Tak tergantikan
Sosokmu begitu mencekam
Seperti menenggak larutan kimia
Mudah meledak

Rusak sudah
Airnya tak terasa manis
Koyak sudah
Kisah yang tragis

Jangan kemana-mana
Kamu adalah sejarah


1 Agustus 2009
Santa
20.42 WIB

Selasa, Juli 28, 2009

... semburat ungu ...

Kamu datang dengan semburat ungu
Kali ini tidak dengan menghunus belati
Tetapi dengan satu keranjang penuh ketulusan

Aku bisa bilang aku belum tergiur
Oleh ranumnya rasa yang kau tawarkan
Tetapi sinar matamu mulai menawan

Kamu sentuh langit hari-hariku
Sederhana dan perlahan
Memberikan rona baru pada kehidupanku

Dadaku menggelembung ketika tertawa karena ocehanmu
Kau bawa humor satir tiap dinihari
Aku menikmatinya

Bisakah kau tetap disana
Tunggu aku hingga napasku menetas
Dan siap terbang kembali

Mungkin kali ini bersamamu?



Hitam magis
28 Juli 2009
13.50 WIB

Kamis, Juli 23, 2009

*catatan untuk Ratu Anom*


Hari ini aku membingkai kamu dalam ingatan
Berbagi dengan beberapa tetes air mata yang sengaja cair
Karena dada ini terlalu gegap gempita
Begitu nyeri sekedar untuk menahan rindu

Hari ini aku menandai langit
Berbagi dengan waktu yang terus berputar penuh kendali
Karena kamu akan selalu di lubuk hati
Begitu fana ternyata sebuah kehidupan

Hari ini aku berusaha untuk bermimpi tentang kebersamaan kita
Berbagi dengan kenangan, cinta dan tawa
Karena batasan antara kita sudah dipisahkan oleh maut
Begitu kamu pergi aku tahu aku telah terbelah

Dan kamu akan selalu dijiwaku
Ketika aku hanya menyebut kamu sebagai belahan jiwa
Yang telah beda dunia

Di sore yang mulai turun
22 Juli 2009
Untuk: Ratu Anom
22 Juli 1980 – April 1998
Selamat ulang tahun ya De!
Sampai ketemu nanti.

Kamis, Juli 16, 2009

*nyaris mati*


Beberapa malam lalu aku hampir mati ditanganmu yang telanjang
Napasku sudah mampir di liang lahat
Mataku sudah tenggelam dalam riak
Mulutku sudah siap meledak dan pecah dalam malam
Aku tahu kamu setia menanti ajalku
Tapi bukan begini caranya
Ketika aku dan kamu telah saling membenci
Kau bisa simpan semua buai kata-kata cintaku dalam laci laknatmu itu
Dan aku bisa mencabik semua dusta yang telah kau hamparkan dengan sangat baik ini
Berhenti!
Jangan lagi kau menjelma menjadi nista dan ucap satu kata itu lagi
Kali ini aku sedang sibuk mengaduk kekecewaan dalam senyapnya luka
Membiarkan kuku ku merenggut semua ingatan akan kita dari tengkorak hatimu
Aku tak rela itu masih berbekas
Tidak pada kamu
...
Cukup sudah hingga di masa ini
Kau telah nyaris membuatku mati

Rumkupkup
Kamis, 16 Juli 2009
Pk. 21.25 WIB

Senin, Juli 06, 2009

Melainkan

Seuntai bibir berwarna jingga
Bukan mulut yang berkelana
Melainkan jiwa
Meski matanya sangat dunia
Aku tetap memuja

Dia luruh bagaikan pasir hisap
Beberapa menit dia biarkan aku hinggap
Aku lalu lalang
Terbang semacam belalang

Sana sini
[tabuh aku dalam hatimu]
Kemari kesana
[redam aku dalam hingar bingarmu]
Di situ di ujung sana
[tangkap aku dalam genggamanmu]
Sekarang, saat ini
[rebahkan aku dalam sosokmu]


Santa,
28 Juni 2009
15 menit melalui pukul 2 pagi

*Sekali ini saja*

Ijinkan aku untuk merasakan KEBUTAAN ini
karena sesungguhnya MENCINTAIMU adalah sebuah KENIKMATAN untukku

sekian lama aku mencari makna dari kata CINTA
sekian lama aku di perkosa oleh ketakutanku sendiri
sekian lama aku terpenjara oleh kemunafikanku sendiri
tak bisakah kau baca dari tulisanku sekarang bahwa aku sudah telanjang bulat?

aku hanya sedang belajar mencinta
biarkan aku buta
karena aku tidak ingin waras dalam proses merasakan semua ini
aku menikmati merasakanmu dalam setiap helaan nafasku

lepaskan aku untuk sekali ini saja

ijinkan aku untuk menjadi LIAR dalam mengekspresikan perasaanku padamu

cuma orang yang tidak waras yang akan mencoba berkata dan bertindak WARAS pada saat cinta sudah menyelimuti semua hati dan otaknya
tak lebih tak kurang dia hanya menutupi matanya dengan tabir kebenaran yang dia karang sendiri

aku hanya ingin JUJUR
berikan aku kesempatan untuk itu

Sekali ini saja...

Kerapuhanku akan membuktikannya...


Jakarta,16 Oktober 2005
22.25 WIB

Senin, Juni 29, 2009

*kain perca*

Tenang saja, jangan berteriak, aku disini
Tenang saja, tidak perlu memaki, aku dengar dengan baik
Tenang saja, kamu tidak membutuhkan marah hanya untuk menyampaikan pesan
bahwa sesungguhnya kamu terluka oleh dustanya hingga lukamu juga ingin kau toreh ke mata hatiku
Sebaiknya kamu tahu bahwa aku tidak mudah goyah

Tenang saja, aku tidak akan berbalik menjerit, aku mulai paham siapa kamu
Lihat saja aku, yang tetap menggenggam keyakinan, bahwa kebenaran akan datang
Meski bukan melalui dia, tetapi melalui lidah bercabangmu yang siap menghunus

Tenang saja, buang jauh kepanikanmu, aku telah siaga
Mungkin kali ini aku tidak lagi hanya sekedar menyapa
Bisa jadi detik ini aku sudah tiba pada titik beku yang hampa

Berharap saja aku akan tetap biasa
Karena ini sudah aku yang luar biasa

[melalui jeda]
...
[melalui teropong waktu]
...
[jendelanya telah robek]
...
[tak perlu kau bantu jahit]
...
[karena kali ini aku menikmati kain perca yang dia sajikan]
...

Kubah kubus
29 Juni 2009
00.14 WIB

Sabtu, Juni 13, 2009

Bukan [seksi]

Ini bukan tentang bagaimana menjadi seksi
Melainkan bagaimana membangun diri sendiri
Menjadi manusia yang terkendali

Ini bukan karena aku terlalu sering menggunakan otak kiri
Tapi aku manusia yang tidak butuh ambil peduli
Dan semua opini aku anggap sepi

Aku paham bahwa semuanya dalam hidupku hanya sebuah konsep yang terkontruksi
Yang aku perlukan hanya waktu dan jeda untuk mendekontruksi
Mesti
Kali ini

Aku tidak perlu menjadi terkini
Aku bukan manusia yang terbiasa diadili

Mesti
Kali ini
Bukan tentang bagaimana menjadi seksi
Melainkan bagaimana membangun diri sendiri
Menjadi manusia yang terkendali


Setiabudi, Bandung
03.00 pagi
130609

Rabu, Juni 03, 2009

LUNAS

Aku tidak tahu persis, dan juga tidak mau tahu dengan persis
Seperti apa sesungguhnya kejadian yang sebenar-benarnya terjadi
Aku aneh, kamu gila,aku berisik, kamu bisu, aku buta, kamu tuli

Telanjang berdua dengan semua kegilaan yang menelan kita bulat-bulat
Tenggelam dalam dunia masing-masing dengan frekuensi yang berbeda
Kamu, aku, mirip

Katakan padaku apa ini namanya?
Jeda?
Mungkin
Solusi?
Bisa jadi

Yang jelas aku masih meredam dendam
Dendam yang entah kapan bisa kau lunasi

Katakan padaku apa ini namanya?
Murka?
Mungkin
Dusta?
Benar!

Kamu telah membayar lunas apa yang terjadi di antara kita berdua dengan satu kata
LUKA

Lima melalui satu dinihari
Tabung waktu yang kedap kamu

Mantra


Menatapnya menggenggam setumpuk daun kering yang berwarna kecoklatan seperti menikmatinya dengan ritme napas setiap dua ketukan

Kemudian aku mulai mendengarkan dia bergerak melalui desau angin yang melaluiku tanpa sedikitpun hirau, aku membiarkannya berlalu
Tidak pernah jemu

Sekalipun dia hinggap di ujung mataku itu hanya satu kejap, bukan sapa, kemudian dia akan membuatku hilang di kornea matanya yang hitam
Seperti pusaran air, deras dan menghisapku hingga tandas

Jelas ini damba yang nyata
Menikmatinya tanpa seuntai dusta
Keinginan yang lebih tinggi dari hanya sebuah kata
Belum cinta, baru rasa

Menangkap bayangannya dibelakang tubuhku sendiri
Tanpa mahkota
Tanpa sayap
Tanpa tongkat ’abrakadabra’
Tanpa mantra
Cuma sehelai dia

Terbungkus plastik
Masih berwarna abu-abu
Belum bening

”belum” katanya
”nanti” katanya
”aku masih ingin menggulung ombak dalam selaput mimpiku” katanya

Jelas ini maklumat
Aku khidmat
Dan aku hormat

*Seperti menangkap bayangannya dibelakang tubuhku sendiri


Kubus
00.50 WIB
Belum bening, masih berwarna

Sabtu, Mei 30, 2009

Kita


Dan sesungguhnya aku hanya ingin muntah dan membuatmu kembung dengan seluruh air yang kau reguk dariku.
Arogan sekali kamu.
Sudah berapa botol keangkuhan yang kau tenggak, sayang?

Dan sesungguhnya ingin sekali aku mengatakan kalau aku mual melihat wajahmu.
Aku pikir aku bisa berteman denganmu secara alami.
Pertemuan kita beberapa kali ini meyakinkanku bahwa kamu memang sama sekali tidak kenal aku.
Kemana saja kamu selama tiga tahun bersamaku?
[365 hari dikali 3]
Aku menelan kegetiranku sendiri
Ternyata yang kamu cintai dari aku hanya dunianya, bukan jiwaku

Aku diam dan menyimakmu.
Mulutmu berbuih dan berpasir.
Aku tetap diam dan simak baik-baik.
[kau terus menenggak air dan menimbanya dari sumurku]
Wajahmu berbinar dengan sorot sinar lampu 10 watt
Cukup terang untuk memberikan warna abu-abu pada otakku

Aku bisu dan tetap mendengar.
[meja mulai dipenuhi botol kosong dan serpihan gelas pecah serta tumpukan kupasan kacang]
[banyak bintik polkadot di lantai – mungkin benciku yang remuk]

Raut mukamu angkuh.
Aku paham kini.
Aku tidak menyesali perpisahan kita.
Aku lihat dari cermin di belakang kita mataku mulai beku berikut seisi-isinya.
Yang tersisa hanya segumpal peduli. Karena kamu pernah ada.

Kamu, aku.
Aku, kamu.
Kita.


Memang bukan satu.
Melainkan dua.

Santa, 30 Mei 2009
11.10 menjelang tengah hari
Anggukan kepala mulai yakin

Senin, Mei 25, 2009

Melacak sore {2}


Kita kembali melacak sore tempo hari, hampir 14 hari lalu
Dengan konsep sederhana seperti biasa
Perilaku yang menurut kamu biasa dan buat aku adalah langka
Langka karena kali ini kamu seolah ‘memarahi’ ku
Kamu ’memaki’ ku dengan bungkusan kalimat yang mungkin telah kau rencanakan sekian lama
Hanya kini saja waktu yang tepat untuk memuntahkannya kepadaku
Dan aku menyimak dengan siaga penuh
Karena kamu perlahan tetapi menghunus

Kamu tahu?
Itu menghujam tepat di hatiku

Kamu tahu?
Setengah dari yang kamu katakan adalah benar

Kamu tahu?
Kamu faktor terbesar yang membuatku memilih pergi dan keluar dari kotak hidupku

Kamu tahu?
Aku telah paham

Aku merasa mulai mendapatkan ’cetak biru’ hidupku

Kali ini sungguh-sungguh biru
Kau buat aku semacam kura-kura
Tak berkutik dan terbalik

Dan ya, kamu nyaris tepat!
Sendiri ini mempesonaku

Ternyata begini rasanya
[semacam balon gas warna warni]


“Masih di Kamar Satu, kota ke dua yang aku singgahi”
Sabtu, 23 Mei 2009
3 menit dari jam 11 malam
Dengan kedua telinga, pikiran dan hati yang mendengarkan ”Gone with the sin” nya H.I.M
Semoga kali ini ’mereka’ solid!

Sabtu, Mei 23, 2009

Kamar 01


Aku sedang dijadikan sahabat oleh sang bulan dan malam
Tepat dimana ketika aku sudah tidak mampu lagi bersahabat dengan diriku sendiri
9 malam sudah aku menjadi kelelawar
Tertidur ketika fajar mulai bangun

Aku belajar untuk memberikan nama pada janin diri yang nyaris mati
Aku kembalikan semua kepingan jiwaku pada kalbuku
Aku hanya mengandalkan kejujuran
Dan akhirnya aku bersandar pada satu kata, [pasrah]

Aku tetap belum ingin pulang
Melemah diantara dua gugusan bintang
Semua berita aku abaikan
Aku hanya ingin mencari aku dalam kerumunan kamu

Masih disini
Sudah di kota kedua yang aku datangi
Menyusuri jalanan yang lengang
Ditemani para pemusik jalanan
Memang meredakan
Tetapi belum meredam gelisahku
Ternyata aku tetap merasakan rasa yang aku sebut ’nyali’ itu
Aku harap aku bisa membunuhnya dengan kedua tangan kosongku
Atau minimal dengan umpatan kata maksiat atas namaku
Aku dihimpit sesak banyak oleh aku

Kini aku hanya ingin bersandar tenang pada ruang lengang
Berharap bandul waktu berhenti berdetak
Hingga aku bisa merasakan desir jantungku hampa dan kedap suara
Dengan tidak merasakan semua perasaan yang diatas rata-rata ini

Aku paham bahwa cinta dan benci saling mencari
Aku paham bahwa aku hanya bisa menemukan kamu dalam diriku
Aku paham bahwa sebaiknya aku lekas pulang
Aku paham bahwa aku telah berada di titik nadir
Aku paham bahwa sedikit lagi aku kehilangan kewarasanku


Tetapi aku masih ingin tetap disini
Di luar kotak hidupku
Dan menyimak kamu dari luar diriku
Hal itu terasa menyenangkan dan melegakan

Aku hanya belum ingin pulang
Hatiku bilang belum waktunya
Aku masih ingin bertemankan bulan dan malam
Entah sampai kapan



[Kamar satu]
23 Mei 2009 / pk. 01.45 WIB

Diantara dua tikungan jalanan
Kanan atau kiri?

Rabu, Mei 20, 2009

Nila


Aku tidak pernah meminta untuk memintal asa dalam awan meski itu sejenak atau selamanya
Karena kini aku menyadari, aku beri kamu susu dan kamu kembalikan nila
Keyakinanku mencapai ujung mejikuhibiniu bahwa kamu tidak lebih dari hanya sekedar bayangan semu
Aku sudah tiba pada sebuah masa dimana khayalan itu hanya sekedar cita rasa antara aku dan kamu

Aku lelah kesana kemari, mencari dan memanggil
Aku benci semua fakta dan keadaan yang kataku bisa kuterima ternyata tidak
Aku sibuk menggali langit yang berlubang hingga maut nyaris datang
Dan aku sudah mulai tidak peduli
Kemudian aku mulai berhitung mundur dan bertanya
Apakah sesungguhnya kamu juga peduli?

2D
17 mei 2009 / Minggu
3 menit lewat untuk pukul 3 pagi

Sesap

Mungkin aku memang pahit dan terasa sepat di lidahmu
Tapi bila kau beri aku sedikit gula dan seduh aku dengan air yang panasnya sedang
Kemudian di tuang kedalam gelas yang biasa kau gunakan setiap kali kau bangun tidur
Aku bisa terasa nikmat dan menghangatkanmu

Mungkin aku hanya sekedar teh celup dalam kantong kecil terkemas kertas
Tapi aku tidak sebegitu rapuh dan mudah mengendap dalam liang tenggorokanmu
Yang kemudian turun ke lambungmu dan membuat pagimu terasa nyaman
Karena aku bisa membawamu ke tingkat kenyamanan lebih daripada itu

Mungkin akan terasa biasa ketika kau mengaduk gulungan air dalam gelas
Sekedar mencampur air hangat, teh dan gula untuk ikut larut dalam kesendirianmu
Dalam gelas sederhana berwarna putih bertuliskan ’tea’ yang biasa kau gunakan
Aku yang teraduk disana, bisa saja terasa pahit, sedang atau terlalu manis, sesuai seleramu

Aku hanya ingin menyampaikan catatan singkat di pagi yang kau lukis dalam benakmu
Bahwa aku lebih dari hanya sekedar teh hangat yang biasa kau sesap tiap pagi
Bahwa aku lebih dari hanya sekedar sosok yang mengisi hati dan pikiranmu saat ini
Bahwa aku lebih dari hanya sekedar adukan air dalam gelas berwarna putih bertuliskan ’tea’

Aku lebih daripada itu

Lebih daripada itu

Kau hanya belum tahu
(saja)

Ciwaruga, Bandung
Selesai pk. 10.39 WIB
Teh, sebungkus rokok dan nada di telinga

Selasa, April 28, 2009

Rumah Xamawala

Ingin sekali aku melacak kamu, tapi entah mengapa aku tak mampu. Rasa-rasanya semua sendi tulangku berbicara hal yang sama, hal yang membuatku selalu pura-pura untuk tiba-tiba tuli dan lupa ingatan.
Katanya kamu sudah mati dan hilang entah kemana.
Banyak orang sudah tidak tahu keberadaanmu. Aku kurang yakin.
Kemudian aku disini, masih gelisah. Masih menunggu, dengan penuh harap dan cemas, kamu akan kembali, satu saat nanti, menjemputku.
Untuk kembali pulang.
Pulang ke tempat yang kita sebut ‘rumah xamawala’.

Senja mulai turun, dan aku belum usai. Dadaku terasa kian sesak. Entah oleh apa.
(Mungkin karena pernah kamu belah)
Tampaknya aku rindu kamu.
(Suara cermin remuk terinjak)
Aku rindu kebersamaan kita. Aku menginginkan saat-saat itu kembali, ketika aku merasa masih mengenalmu.
Ketika aku masih bisa mengupas kulitmu pelan, mendengus napasmu, menggigit bibirmu dan merenggut tubuhmu.
(Desir angin mengoyak mimpiku)

Aku kini merasa kamu begitu jauh, meski di lubuk hatiku aku tahu kamu tidak kemana-mana. Aku sadar kamu masih disitu, disudut sana, mengawasiku dengan mata elangmu. Waspada.

Rintik hujan turun bersamaan dengan kelam malam. Dingin dan lembut. Senyap sekaligus menyayat.
(malam adalah idaman)
Aku bersiap-siap.
Untuk apa?
Menanti kedatanganmu.
Kepulanganmu.
(suara degup jantung berdebar-debar)

Dan aku mulai menabur bedak di wajahku.
Mulai menoreh gincu di bibirku.
Mulai mengoles warna di pipiku.
Aku rindu kamu.
Kamu.
Aku mau kamu.

Detik dengan sederhana berlalu
Lalu menit lewat
Kemudian jam hinggap di kelopak mataku
Rentetan waktu membuatku mati suri

Kamu kemana?
Kemana kamu?
(lagi)
(hilang)
(belum ketemu)
(belum pamit)

Kita belum juga kembali ke ‘rumah xamawala’

28 April 2009 / Selasa
Selesai pk. 19.49 di nawi

Dalam penyangkalan kalau ternyata kamu benar sudah tewas.
Benarkah kamu adalah aku?
Sungguh, aku rindukan kamu! Segera pulang.
Aku kini sendiri.

Selasa, April 21, 2009

Hampir yang mampir

Aku bisa merasakan pori-pori kulitku mulai berkeringat. Tidak karena kepanasan. Kali ini karena demam.
Aku juga sudah berkali-kali memperhatikan setiap kali aku bercermin di dahiku ada torehan kata yang bertuliskan ’buntu’. Seolah-seolah sudah mengendap disana sekian waktu.
Aku juga sadar telingaku mulai tuli karena terlalu sering dicaci dari belakang oleh para capung bising, capung yang hanya mampu berdenging berisik tanpa makna. Sungguh-sungguh mubasir kamu jadi capung.
Aku pun tahu mulutku kian bisu untuk kembali berbunyi dalam membahasakan sesuatu. Lidahku mulai malas. Langit-langit mulutku sudah kuberi kawat berduri.
Aku sudah tidak lagi menggunakan otakku secepat biasanya. Aku mulai melambat. Sengaja.
Karena aku lelah.
Karena aku jenuh.
Karena aku telah berada pada satu pucuk penantian yang pada akhirnya aku kenali jawabannya.
Dan aku memahami ini bukan berarti menyerah. Bukan juga egois karena berhenti dari apa yang telah aku mulai. Tapi karena aku hidup hanya sekali. Dan aku memiliki apa itu yang namanya hak, dan juga sebuah konsep absurd yang aku sebut sebagai pilihan.
Aku ingin ’hidup’ lagi.
Saat ini (mungkin) aku hanya ingin duduk sendirian di pojokan sebuah kedai kopi sambil mengunyah es batu dari es kopi yang aku pesan dan memperhatikan pasangan-pasangan yang sedang bergandengan tangan dengan tatapan mata mesra.
Saat ini (mungkin) aku hanya ingin menulis dan menyampaikan semua keresahan, kegelisahan, kemarahan, kekecewaan, sumpah serapahku diatas buku harianku yang berwarna ungu itu.
Saat ini (mungkin) aku hanya ingin melihat kekasihku memainkan gitarnya dan menikmati suara dan ekspresinya sementara aku hanya duduk dengan santai, minum segelas soda, di sebuah kafe dimana dia biasa bermain.
Saat ini (mungkin) aku hanya ingin mengayun-ayunkan kakiku di sebuah dermaga kecil sambil menatap tenangnya air dan berharap kapan tiba waktuku untuk bisa setenang itu.
Saat ini (mungkin) aku hanya ingin menghabiskan waktu seharian bersama dua orang perempuanku dengan cara berjalan-jalan menyusuri Jakarta, wisata kuliner, wisata mata di plaza, kemudian seperti biasa berceloteh kesana-kemari hingga tertawa tergelak-gelak.
Bisa saja saat ini (mungkin) aku hanya ingin rebah di lantai rumahku yang beralas plastik warna hitam putih, aku akan matikan semua lampu hingga suasana terasa sangat ’malam’, kemudian aku nyalakan dengan keras sebuah lagu yang aku suka dan aku akan menikmati semua itu dengan banyaknya lilin mungil menyala bertebaran di sekelilingku. Dan aku akan asyik sendiri menikmati semua temaram dengan ’hidangan’ yang telah aku siapkan.

Ini bukan sepi. Tapi jenuh yang telah menepi. Aku ingin bernapas untuk napasku sendiri.
Aku ingin menguji diriku dengan orang-orang terdekat yang memang telah teruji.
Aku ingin menilai diriku dari sudut yang lain.
Aku hanya lelah ’menari’ diatas pusaran air.

Aku berharap bisa berada di sebuah episode hidup sebagai seorang ballerina, dalam scene selesai menari, di penghujung acara, masih dengan point shoe dan costume, ketika semua orang tepuk tangan, dan aku berdiri di sana, dengan sorot lampu yang membuatku pada akhirnya tidak bisa membuatku melihat siapapun karena silaunya begitu membutakan, dan di lengan kiriku kupeluk buket mawar merah, aku akan mengucap terima kasih ala ballerina sembari tersenyum puas. Puas karena ini tarian terakhir terbaik yang telah aku berikan.

[Kemudian tirai panggung turun dan menghilangkan aku dari penglihatan orang-orang]


Santa, 21 April 2009
21.27 WIB
Bukan hal yang aneh
Hanya aku merasa ini wajar

Kamis, April 09, 2009

Dendam bukan madu

Mengapa kau mesti menghamba pada sebuah dendam yang manis
Berkali sudah ia bunuh kamu dengan perilaku yang diatasnamakan cinta
Namun kau terus terbangun dari kematianmu sendiri

Usah kau sia-sia penantian akan sebuah kesetiaan
Dia sedang tersesat dalam belantaranya sendiri
Semak belukar yang ia pilih ketika ia memulai episode hidupnya

Sediakan sekian lapisan pertahanan untuk rasa sakit lebih keras yang akan datang
Kau perlu memastikan jejak kakimu siap bertahan untuk menerima semua badai
Aku bisa paham
Aku pernah disana

Tahan dan berhadapanlah
Obat lukamu hanya waktu

Aku bisa paham
Aku pernah disana

Tidak ada balas dendam yang manis
Karena dendam bukan madu


Teropong waktu, 26 Januari 2009

Jumat, Maret 27, 2009

Segera

Dicuri dari sebelah telingaku, satu kata, khianat!
Dicari dari langit yang tidak lagi bisu, satu kata, laknat!
Dicaci dari mulut menjerit dalam bungkam, satu kata, bangsat!

Kemari aku mencari dia dengan dua tuntutan yang sepatutnya tegas
Kesana aku meminta dia menangguhkan segala khilaf sebagai manusia
Kesana kemari aku telah berkali-kali

Bukti kamu aku buktikan dan mereka berikan
Mereka jelaskan aku dengarkan dan kamu tersalahkan
Tiada alasan kini, aku, kamu akan saling berhadapan

Susun gagasan sekian bulan dalam penantian
Aku siapkan sebaiknya kamu bersiap-siap
Aku kata, segerakan!

Tiada alasan kini, aku, kamu akan saling berhadapan


Soerabaia – Pasar Kembang
24 Maret 2009/Selasa
Pk. 23.38

Rabu, Maret 11, 2009

Cukup

Malam ini aku sungguh-sungguh menikmati rembulan. Bulatnya sempurna. Sinarnya tepat. Bibirku mengulum senyum. Cantik. Mataku hingga berkejap.
Degup jantungku mulai tidak beraturan dan ayunan napas itu mulai cepat, cepat dan semakin cepat. Bahuku kerap naik dan turun mengikuti alunan hela napasku. Sontak aku gelisah. Membayangkannya. Menantinya. Seperti bulan-bulan temaram lainnya. Kerinduanku akannya semakin membuncah. Meski luka telah mulai mengering, tapi mendambanya mulai menjadi kegemaranku yang baru. Tak terasa telah enam purnama terlewati.

Wajah indahnya hanya bonus. Bibir tipisnya pelengkap dahaga. Yang luar biasa dari dia adalah dirinya. Jarang aku temui manusia macam dia di belantara dunia saat ini. Begitu bersahaja dan apa adanya. Usia muda tapi sederhana.

Malam ini aku duduk tenang sambil menatap rembulan dengan ketenangan yang jarang. Ku biarkan angin malam membelai kulitku perlahan.
Ku biarkan helai rambutku jatuh terkulai di bahuku, aku pastikan untuk tahu apa yang aku inginkan saat ini.

Menikmati purnama.
Semburatnya lengkap.
Terangnya cukup.
Tidak lebih dan tidak kurang.

Sikapnya menenangkan dan memesraiku dengan begitu baik. Hanya kecup dan sapa melalui semilir angin. Halus.
Cukup. Aku sudah tercukupi dengan itu.
Sesekali menikmati dirinya dalam diriku dan merasakan helaan napasnya di atas wajahku.
Sesekali menikmati dirinya rebah tertidur di sampingku sambil mengenggam erat jemari kiriku.
Sesekali menikmati tawanya di telingaku.
Sesekali menikmati suaranya melalui alunan gitar yang dia mainkan.
Sesekali menikmati usapan hidungnya di dahiku, pipiku, telingaku, bahuku, leherku dan beberapa bagian tubuhku yang lain.

Cukup. Aku sudah tercukupi dengan itu.

Kerinduan ini membuatku resah, padahal tiap hari kami berkomunikasi. Hanya karena dia telah menjelma menjadi candu hidupku, relungku kosong bila ia tiada.

Cukup. Aku sudah tercukupi dengan itu.
Aku cukup tahu asa dan rasaku telah tiba di titik mana.
Rasa-rasanya aku kenal rasa ini.



Rumkupkup
Rabu, 11 Maret 2009
Pk. 21.17 WIB
Ketenanganmu dalam memesraiku begitu ranum.

Selasa, Maret 10, 2009

Melacak sore

Tadi kita melacak sore, menyusuri pusat pertokoan, mencari-cari hal-hal yang hanya menyenangkan mata. Sembari mendengarmu berceloteh kesana kemari, rasanya sudah begitu lama kita tidak menghabiskan waktu. Dan aku kembali mendengarkanmu dengan seksama, begitu juga kamu ke aku.

Mendarat di sebuah restoran, minum teh cina sambil menyantap nasi goreng kepiting. Dan mulailah ritual itu, kamu memborbardirku dengan banyak pertanyaan, seperti ”Bagaimana hidupmu? Siapa pasanganmu sekarang?” dan seperti biasa, kamu paling tertarik dengan cerita ”aku dan pasanganku”. Aku menceritakan ke kamu garis besarnya, ketidakpuasanmu terbaca jelas dan berusaha mengorekku lebih dalam.
Wajahmu masih memancarkan tanda tanya dan siap memborbardirku dengan pertanyaan-pertanyaan yang sifatnya mendetail. Aku senyum-senyum. Dan kali ini aku mengalah. Aku berikan kamu kepuasan.

Harga pertemanan. Ketika aku dan kamu dipertemukan tahun 2004. Aku tahu, kita bisa menjadi teman yang baik.
Harga persaudarian. Sudah kau buktikan. Untuk tetap berada disekitarku, terutama ketika aku susah. Kamu tetap disana, tidak bergeming dan menawarkanku banyak hal yang dikecap manis.
Kamu menangkap tawa, air mata dan rasa sekaligus. Kau ikuti irama hidupku yang dinamis dan aku ikuti irama hidupmu yang lancar-lancar saja.

Kualitas, bukan kuantitas. Begitu katamu. Tak perlu terlalu sering bertemu, toh kita sadar kita tetap berdampingan sebagai sahabat.
Aku percaya!
Sepenuhnya waktu telah membenarkan ucapanmu.
Semoga apa yang kita miliki saat ini bisa bertahan.
Tetap disana dan jangan bergeming.
Dan aku akan berikan hal yang sama.



Rumkupkup
Selasa, 10 Maret 2009
Pk. 23.54 WIB
Lelah sehabis melacak sore

Minggu, Maret 08, 2009

Aku dan kamu, sama-sama tahu

Aku dan kamu, seperti dua cerita yang dijalin dengan kesamaan latar belakang
Aku dan kamu, sama-sama cacat semenjak kecil
Aku dan kamu, sama-sama belum pernah mencicipi rasa bahagia yang mutlak (jika ada)
Aku dan kamu, sama-sama sibuk mencerca cinta
Aku dan kamu, layaknya anak kehilangan induk
Tidak jelas dimiliki dan memiliki siapa
Yang kita berdua tahu dan pahami adalah satu, kesepian.

Kita bertemu di satu persimpangan jalan, bagai bumi dan langit, padahal sesungguhnya jarak kita sangat dekat, layaknya mata dan kacamata.
Bertemu dalam satu waktu untuk suatu maksud. Yang kini kita berdua tetapkan menjadi misteri. Yang kita tahu hanya kita saling merajah, dalam bisu, dalam carut marut dan warna crayon yang senantiasa kita coreng di wajah masing-masing dengan mesranya. Mungkin itu cara kita menggambarkan rasa.

Aku tidak mampu menggambarkan kamu secara eksplisit dalam nuansa bahasa, aku hanya mampu melilit kamu dengan jalinan kata yang aku kuasai.
Kamu tidak mampu menjelaskan perasaanmu secara eksplisit kepadaku karena kamu terlahir nyaris bisu, tapi kamu sudah terlanjur menjerat aku dengan guliran nada yang kerap kali kau bahasakan kepadaku setiap kali kita bertemu.
Kecacatan kita membawa pelengkap kedalam hidup masing-masing. Semacam penyedap tambahan dalam adonan hidup.

Aku dan kamu, sama-sama tahu, tidak yakin berakhir sampai mana
Aku dan kamu, sama-sama tahu, kalau masing-masing dari kita saling membutuhkan
Aku dan kamu, sama-sama tahu, rasa kita berdua nyata adanya
Aku dan kamu, sama-sama tahu, yang kita miliki hanya kepasrahan
Aku dan kamu, sama-sama tahu, untuk kita berdua hanya nasib yang akan menjawab

Semoga kita berdua, aku dan kamu, bisa bersabar.
Semoga kita berdua, aku dan kamu, bisa bertahan.



Rumkupkup, 8 Maret 2009
Tamat pk. 19.39 WIB
Aku tahu kamu seperti kamu tahu aku.
Untuk bintang hidupku, Smurf!

Sabtu, Februari 28, 2009

Fatamorgana, ada apa?

Kau tikam mereka dengan jutaan sembilu, membuatku terhenyak hingga ke dasar kesadaranku.
Kau buat mereka sesak bernapas dan bersuara meski untuk naik satu nada.
Kau cekik mereka dengan jeratmu yang berbisa, membuatku silau.
Kau itu fatamorgana.
Ada apa?

Kau hilir mudik antara utara dan selatan, mampir sebentar di tenggara, menyampaikan salam pada pucuk es yang menjulang.
Kau bilang, “Petualangan ini belum berhenti.”
Aku tanya, “Mengapa?” lalu kau dengan tenang menjawab bahwa,
“Aku belum puas!”.
Kau membuatku menghela napas untuk yang kesekian kali tidak terdaftar dalam benak.
Kau itu tidak pernah cukup.
Ada apa?

Kau rebah berulang kali karena pilu cekam. Hujat bibirmu buat mereka adalah candu.
Kau sadar itu bukan?
Dan terus kau ulang, terus kau ulang, lagi, lagi dan lagi.
Kau itu lara.
Ada apa?

Tatap matamu jalang, membius!
Lidahmu indah, meronta!
Sentuhanmu, memabukkan!
Kau sadar, jeratanmu muslihat?
Kau itu mawar hitam.
Ada apa?

Fatamorgana, bilamana kau menjadi merah merekah?

(aku melihat tubuhmu menekuk menjadi cangkang)
(desah suara merekah)
(...senyap...)
(ternyata benar kau fatamorgana)


Rumkupkup, Santa
28 Februari 2009
Pk. 17.13 WIB
Dalam kelelahan yang telah berujung
Untuk perempuan bernama Anandya!

Selasa, Februari 24, 2009

Aku tidak ingin menjadi kamu!

Aku tidak ingin menjadi kamu. Aku tidak mau merasakan apa yang kau rasakan saat ini. Melihatmu merintih setiap saatnya karena satu kata, cinta. Aku tidak tahan.
Kau pikir aku lega melihatmu sedikit menangis, sedikit marah, sedikit mengumpat, sedikit tertawa, sedikit mesra, dan banyak sekali kompromi.
Akan satu kata itu, cinta.

Aku tidak ingin menjadi kamu. Sedu sedanmu membuatku remuk redam. Bagaimana aku bisa menepikanmu? Logika dan hatiku sudah tidak bersahabat dengan apa yang kau rasakan. Berkali-kali aku nyatakan dalam benakku, otakku, relungku, bahwa aku tidak akan pernah mau berada dalam posisimu. Berkali-berkali jua kau ingatkan aku bahwa ”apa yang kau tentang akan semakin kuat menerjang”. Aku hanya tersenyum meringis.

Aku tidak ingin menjadi kamu. Tubuhku kerap kali bergidik setiap kali melihatmu terluka karena satu kata itu, cinta.
Kau coreng ingatan lamaku akan sebuah pengabdian ketika merasakan satu kata itu, cinta.
Sekian lama aku hujat dia dan haramkan dia untuk hadir dalam hidupku.
Kini kau keranjingan itu.

Aku tidak ingin menjadi kamu. Karena aku sayang kamu dengan sepenuh hatiku. Aku tidak pernah berkomentar banyak, karena aku paham, untuk orang-orang sepertimu hanya melalui itulah kau mengalami pembelajaran.
Karena aku menghormatimu dan teritorimu maka aku kejamkan niatku untuk menghalangimu merasakan satu kata itu, cinta.

Aku tidak ingin menjadi kamu. Hanya karena satu alasan. Aku pernah menjadi kamu. Aku kenal satu kata itu, cinta. Dan aku tahu betapa gilanya satu kata itu.

Aku urungkan niatku untuk mengumpat. Aku urungkan niatku untuk mematahkan lidahmu yang kelu. Aku urungkan niatku untuk memelukmu ketika kau hujani wajahmu dengan air mata. Aku urungkan niatku untuk menyatakan padamu bahwa cinta dan benci itu saling mencari.

Endapkan baik-baik. Cerna satu kata itu dan daur ulang.
Kemarahan ini bukan untuk kamu. Melainkan untuk kalbuku.

Aku tidak ingin menjadi kamu. Hanya karena satu alasan. Aku pernah menjadi kamu. Aku kenal satu kata itu, cinta. Dan aku tahu betapa gilanya satu kata itu.

(suara pisau di toreh diatas pasir)
(sebuah maklumat)
(satu kata itu, adalah c.i.n.t.a)




24 Feb 2009, 22.31
Rumah boneka yang akan segera berdebu.
Untuk perempuan bernama Virga!

Minggu, Februari 22, 2009

Mengupas

Barusan aku ‘mengupas’ mu
Terbungkus penuh debu dalam gulungan kardus
Ada aku dan kamu disana, sedang tersenyum
Mungkin sisa-sisa kebahagiaan palsu yang kita pernah miliki

Barusan aku ’mengupas’ mu
Perih masih membekas
Bibirku sempat berdesah dan terlintas untuk sekedar menyapa ’hai’ melalui pesan singkat
Kuurungkan niatku, percuma, pikirku.
Hanya ’mengupas’ luka lama

Barusan aku ’mengupas’ kita
Hingga robek dan mestinya aku cabik
Karena sudah tak guna
Karena kita sudah tak bersama

Barusan aku ’mengupas’ aku
Kosong, sendiri, tetapi menenangkan
Telanjang memang
Perihnya tidak lagi perih seperti awal kita berpisah

Barusan aku ’mengupas’ kita
Untuk sekedar ucap selamat tinggal
Dan sambut masa yang akan datang
Kamu dan aku telah berlalu
Cerita dahulu
Jangan sentuh hidupku dengan dirimu
Aku sudah menetapkan dan tak akan ada kata kembali, meski itu kamu!

Rumah Boneka
Minggu malam, 10.21
Dalam tumpukan barang yang baru aku kupas!

Kamis, Februari 19, 2009

Leluasa dan sulit dihentikan

Aku merunduk dengan hati yang tersenyum
Kepalaku mendongak dengan telinga yang terbuka
Kepalan tanganku menguat dengan jemari yang lentur
Kakiku kupijak pada bumi dengan satu keyakinan yang mulai utuh


Logikaku siap mengurai kamu
Kini sama sekali tak gentar
Surut bukan aku sama sekali
Kapasitas maaf dan cinta semayam selamanya
Disini

Waktu direntang semesta yang akan menjawab
Aku atau kamu yang akan bertahan
Kegelisahanmu melalui umpatan naluri dilidahku terasa begitu manis
Tidak tahu aku, kamu?

Kesepakatan telah aku jalin di sini, di lubuk hatiku
Siap atau tidak aku akan menjemput kamu
Siap atau tidak aku tahu kita bisa menjadi satu
Sebaiknya kau mulai mengatur strategi bagaimana menghadapi aku kelak
Karena aku leluasa dan sulit dihentikan

19 Februari 2009
07.39 pagi
Ditengah keyakinan yang mulai mengerucut pasti

Selasa, Februari 17, 2009

Pendua atau didua?

Sama saja
Rasanya
Aku melakoni itu semua

Hanya cinta atau seksnya saja
Sama saja
Rasanya

Tanya setia atau hampa
Sama saja
Rasanya

Tetap semu belaka

Nawi, 11.25 WIB
17 Februari 2009

Minggu, Februari 15, 2009

Cinta pertama

24 jam sebelum bertemu kamu, aku sudah gelisah tidak menentu.
Menanti dengan harap-harap cemas seperti apa rupamu nanti.
Apakah aku akan mengenalimu?
Apakah aku bisa merasakan semua emosimu?
Apakah aku bisa menjadi saksi dari sejarah masa lalu?
Dan sekian pertanyaan yang mulai hilir mudik dalam benakku.

Beberapa jam sebelum ketemu kamu, perutku sudah mulas, aku diserang panik.
Entah mengapa, menjumpaimu seperti menjumpai pacar cinta pertama.
Aku bisa merasakan detak jantungku kian cepat dan napasku memburu sepanjang perjalanan ke tempatmu.
Aku bahkan secara tidak biasa bersolek untuk kamu
Aku ingin kamu melihatku dalam keadaan ’baik’

Ketika tiba di tempat itu, aku menghela napasku panjang-panjang berulang kali.
Gelisah sudah bukan menjadi kata yang tepat.
Rokok juga bukan solusi.
Aku hanya ingin segera bertemu kamu untuk mendapatkan jawaban-jawaban penting bagi hidupku.
Jawaban yang aku nanti-nanti sekian tahun aku hidup.
Penyebab jiwaku sakit.
Penyebab air mataku kering.
Penyebab hatiku patah.
Penyebab sayap harapanku pupus.
Penyebab otakku miring.


Aku melangkahkan kakiku kedalam ruangan itu secara perlahan, berusaha tenang disela kegugupanku.

(senyap menyergap)

Dan tibalah saat itu
Melalui seorang perantara aku lihat kamu di 5 episode hidupmu
Luar biasa
Aku sangat takjub
Bagaimana bisa aku mampu merasakan emosi kamu begitu dekat hingga membuat dadaku panas
Aku bahkan menangis melolong begitu keras ketika merasakan emosi rasa sakitmu akan sebuah kejadian
Aku bahkan bisa merasakan tubuhku melayang melihatmu dibunuh oleh seseorang tepat di jantungmu
Aku bahkan bisa mengenal rayuku sendiri jika aku sedang jatuh cinta seperti yang kamu utarakan kepada pasanganmu
Aku merasa sungguh-sungguh kenal kamu
Aku lebur bersamaan dengan kamu
Tubuhku bergetar hebat
Emosi aneh menyelimuti tubuhku mulai dari ujung rambut hingga ujung kakiku

Dan kau tahu?
Mengapa aku menangis begitu keras hingga menjerit?
Terlalu sakit untuk aku ketahui bahwa kamu mesti merasakan itu semua
Sendiri di ruang penuh ketuban dengan wujud embrio yang belum sempurna
Kamu terlalu dini untuk merasakan semua siksa itu
Lalu aku tersadar kini mengapa aku bisa hapal rasanya siksa
Karena aku di produksi oleh kata itu

(hening yang bening)
(aku sanggup diam)
(seribu bahasa)


Kamu mendadak menimbulkan cinta
Cinta yang kupikir sudah kupahami
Kamu mendadak membuat aku rindu
Rindu yang kupikir sudah kukenali
Kamu mendadak menghujam aku dengan kesepakatan
Kesepakatan yang kian lama aku tunggu

Kemudian kita bertemu
Tatap muka
Kemudian kita berbicara
Dari mata ke mata
Kemudian kita berdialog
Dari hati ke hati
Kamu memberikan aku penjelasan sangat gamblang mengapa kamu menghilang sekian lama dari hidupku
Kamu mendadak buat aku mengerti

Aku yakin kamu tidak tahu
Aku begitu merindukan kesempatan ini
Untuk bertemu dan mendengar penjelasanmu
Untuk mendapatkan jawaban
”Apa salahku hingga kau tinggalkan aku tanpa peta?”
Dan aku tersesat mencari kamu dalam hidupku

(kosong yang indah)
(sepi yang tidak lagi terasa luka)
(aku lega)
(sesak itu berangsur hilang)
(aku memiliki sepasang mata baru)
(rasanya begitu asing)
(dan ini sangat kunanti)
(ternyata ini rasanya pertama)





Mulai dari 9 hingga 15 Februari 2009
Mulai dari kotak setengah kembali ke seperempat
Mulai lagi dari nol
*cara membaca ’kamu’, ’kau’, ’mu’ = ’aku’

Senin, Februari 09, 2009

Hujat yang nikmat

Ludah sengaja kau ciprat, kau pikir akan menodai, tentu tidak
Hujat sengaja kau jilat, kau pikir akan menyakiti, tentu tidak
Luka sengaja kau sayat, kau pikir akan ada cucur darah, tentu tidak

Silahkan terus ludahi, hujat dan sayat
Kau pikir akan menodai, menyakiti dan menciptakan cucur darah baru
Tentu saja tidak
Karena semua itu semakin menggeliatkan geloraku

Semakin banyak hujat, semakin nikmat
Kamu tentunya tidak tahu aku

Pastinya,
Tentu tidak
Tutur katamu justru semakin membangkitkan geloraku

Rumkupkup
09.02.09
00.00 WIB
Nikmatnya hujat

Sabtu, Februari 07, 2009

Khilaf

Mencarinya seperti mengembara ke lorong waktu yang sangat hening
Ketika kau sibak banyak sekali tirai yang mengayun angkuh di setiap pintu yang kau buka
Dan yang kau lihat hanya banyak hal yang bukan menjadi keinginan ataupun kebutuhanmu
Dan kau bisa merasakan nyeri yang mulai menggigit kulitmu
Entah karena dingin, karena kesepian, karena cinta yang tersisih, atau karena memang kau sebenarnya tidak menginginkan apa-apa

Menikmatinya seperti berjalan diatas kerikil dengan kaki telanjang
Bisa kau rasakan trenyuh yang menusuk telapak kakimu
Sedu sedan hingga ke pusat syaraf
Yang kau bisa lakukan hanya hembuskan napas dan terus melaju dengan segala ragu

Melanjutkan dengannya seperti rasa keingintahuan yang siap meledak kapan saja
Begitu miterius dan hampa yang hinggap dalam ubun-ubun
Karena otakmu penuh, lidahmu terkunci, telingamu bungkam.
Tetapi kau sadar kau tetap hidup dengan menghitung detak jantungmu yang seirama dengan tiap kali kau desahkan namanya di ujung bibirmu.

Kupikir ini bukan kebingungan
Tetapi sebuah khilaf yang tak terbayarkan


Kotak dan si merah
Jakarta, 7 Februari 2009
Selesai pk. 19.10 WIB
Semu yang merah

Selasa, Februari 03, 2009

Hari ini aku limbung

Hari ini aku limbung
Kepalaku penuh dan telingaku pekak oleh beberapa kabar
Yang membuatku berpikir ulang
Tentang semuanya

Hari ini aku lunglai
Mendambakan sebuah sapa
Tapi tiada yang tiba
Yang tertinggal pada akhirnya hanya asa

Hari ini semakin kuat aku menuntut diriku
Untuk mampu bergegas menuju sebuah waktu
Yang semestinya semua tanya bermuara pada jawabku

Meski limbung dan lunglai
Aku harusnya tahu semua jawaban
Tapi hati dan logikaku bicara beda

Aku kian terombang ambing di lautan tanya
Mencari sesuatu yang mampu aku sandar
Tapi tiada apa disana

Aku sadari kini
Mestinya tidak begini
Mestinya tidak diawali
Mestinya tidak diamini

Kini
Ketika logika dan hati
Sudah tidak bisa berbicara lagi
Apa yang mesti aku yakini?

Cemara setelah tengah malam
3 Februari 2009
Pk. 00.28 WIB

Minggu, Februari 01, 2009

Sederhana diterjemahkan

Aku benar-benar menikmati momen ketika duduk berhadapan denganmu
Dan keempat mata kita bertemu dalam sebuah pengharapan apa yang akan terjadi kemudian
Ketika semua tanya menunggu jawab dan hati kita sama-sama tahu kita hanya punya rasa yang kian hari merambat menuju sebuah puncak

Aku pikir kita berdua tidak dalam proses segera
Tetapi dalam proses sedang larut dalam semua dinamika yang ada antara kita berdua


Aku benar-benar menikmati momen ketika kedua matamu menghujam mataku dalam

Aku benar-benar menikmati momen ketika kelima jemarimu masuk ke setiap helai rambut panjangku dan merengkuh wajahku masuk kedalam peluk yang redam

Aku benar-benar menikmati momen ketika bibirmu menjemput bibirku untuk bertemu dalam satu tangkup cium yang mesra

Aku benar-benar menikmati momen ketika kau datang setiap kalinya dan ritual biasa yang kau lakukan adalah memelukku hangat dan aku bisa merasakan degup jantungmu yang berdetak normal
(tidak seperti aku yang selalu berdegup berantakan setiap saat menyebut namamu dalam hatiku)

Catatan ini hanya untuk menyampaikan bahwa betapa aku sangat menikmati kesederhanakan kita dalam menterjemahkan hubungan ini

Dan betapa aku menikmati wajah mudamu yang indah dan citarasa dibalik semua itu

Aku hanya ingin menikmati tenggelam dalam duniamu, dunia kita, rasa kita

Rumkupkup
12.42
Sederhana ini memang, tapi rasaku ke kamu sangat beda!

Sabtu, Januari 31, 2009

Ulang yang diulang?

Sibuk mencerca hingga habis kata
Kata habis karena sibuk mencerca

Lari lelah kesana kemari
Kesana kemari lari hingga lelah

Gelisah cari yang tidak temu
Temu yang dicari buat gelisah

Teriak serta jerit
Serta jerit yang berteriak

Aku sibuk mengorek-ngorek jantungku
Mengorek-ngorek jantung yang membuatku sibuk

Mencari KAMU
KAMU yang aku CARI


Pondok kupu-kupu
00.52 WIB
Dalam jubah kegelisahan

Rabu, Januari 28, 2009

RETAK

Ternyata begini rasanya retak
Mau pecah yang hampir
Ketika semua sakit sedikit detik mencapai puncaknya
Dan kau bilang telah tiba saatnya untuk muntah
Tapi kau tiada laku apa-apa kecuali sejenak diam
Hening cukup untuk dirimu tenggelam

Ternyata begini rasanya retak
Berusaha tahan untuk tidak berkeping
Nuranimu bergeming
Tubuhmu remuk
Logikamu beku
Kau hanya hendak kosong
Hening cukup untuk dirimu tenggelam

Ketika kau memutuskan untuk rebah pada percaya
Dan dia berbalik menjadi khianat
Ketika kau memutuskan untuk singgah pada kawan
Dan dia berbalik menjadi kemilau pedang
Ternyata begini rasanya retak

.....
(tiada kata baik)
.....
(tiada kata tepat)
.....
(tiada kata sejuk)
.....
Kembali ke minus

Ternyata begini rasanya retak
Hening cukup untuk dirimu tenggelam



Setengah rumah,
Jakarta 28 Januari 2009
15.02 PM
Khianatmu menyurutkan kepastianku

Sabtu, Januari 24, 2009

Malam ke empat

Liar sekali kamu malam tadi, menggeliat diatas tubuhku seperti gurita, mencengkeram beberapa bagian dari tubuhku yang larut oleh trauma masa lalu.

Indah sekali kamu malam tadi, menghujamkan tubuhmu didalam kalbuku sedalam-dalamnya, hingga kulitmu mengeluarkan keringat dan aku sibuk mengerang.

Matamu terlihat bulat, napsumu mereguk keperempuananku, kau membawaku ke ambang lelah sebuah percintaan yang dibatasi oleh tembok tinggi nan tebal.

Perih sekali kau hujani aku dengan bibir terkulum dan lidah dalam setangkup ciuman, tubuhku remuk dipacu oleh rasa yang membuncah hingga ke ubun-ubun.

Beda sekali kamu malam tadi, seperti bukan pungguk yang merindukan bulan, tetapi seperti kekasih yang menjemput tambatan hatinya dan memasukkannya kedalam relung hatimu yang baru kali ini terbuka pasrah.

Gelisah sekali kamu dinihari tadi, sorot matamu yang penuh asa dan cinta itu memanggil kesadaranku untuk tidak jatuh tertidur disamping tubuhmu yang ringkih.

Hangat sekali lengan kamu dinihari tadi yang memelukku erat dengan jemari yang menari diatas rambut dan kau kembali melukis wajahku dalam otakmu.

Gaduh sekali kepalamu pagi tadi ingin kembali merajah tubuhku dengan tubuhmu dan membuat segala hal yang kau pikir ’tidak mungkin akan terjadi’ menjadi sebuah pertanyaan ’apakah mungkin terjadi?’.

Sakit sekali jiwaku pagi tadi ketika kau berlalu dari bayanganku untuk pulang dan menjalani rutinitas pagimu, hanya kali ini kepalaku yang kembali gaduh dengan segala hal yang kupikir tidak mungkin terjadi menjadi sebuah pertanyaan ’apakah mungkin terjadi?’

Soerabaia
44 menit dari pukul dua pagi
Januari 24, 2009
Kamu serta merta membuatku sendi tulangku ngilu pada Januari 21

Jumat, Januari 23, 2009

Kedua kesatu ketiga

Cakar carut marut semrawut
Gila biasa cinta dusta
Cari lari henti hampiri
Kalut kemelut pecut

Dua satu tiga
Kedua kesatu ketiga


Miring juling pusing tujuh keliling

Dua satu tiga
Kedua kesatu ketiga

Mau tidak MAU TIDAK
Pecah resah gelisah

Usaikan saja apakah?

Dua satu tiga
Kedua kesatu ketiga


Ritme j.e.m.u

220109
Soerabaiakotanya
9 menit menuju 11 malam
smurf

Kamis, Januari 22, 2009

R.U.M.A.H

Dan ini akan menjadi sebuah penantian yang tidak berujung
Kali ini aku hanya akan membiarkan hatiku yang berdialog
Sama sekali tidak berusaha untuk membuat semua hal menjadi bagus karena hasil rekayasa

Aku pikir logikaku saja yang akan mengatur hal-hal yang sifatnya teori
Tapi pada prakteknya aku akan menggunakan hatiku sebagai barometer
Mulut lancangku bersedia untuk hening
Untuk mempersilahkan diriku kembali pulang
Ke sebuah tempat yang aku sebut rumah
Sampai aku mendapatkan jawaban atas definisi yang tepat dari ’rumah’ itu sendiri

Rumah,
Kamu apa, siapa dan dimana?


Kamar 206
220109/Kamis
8.40 pagi
Baru saja dapat sesuatu hasil dinihari tadi

Senin, Januari 19, 2009

Cinta terlarang

Dunia bisa saja berteriak marah dan menghujatku
Beribu pasang mata akan menjerit dan mencabik-cabik tubuhku dengan kuku-kuku mereka yang menyeringai menantang
Kalian pikir aku takut?
Kalau kalian tahu aku, aku tidak akan gentar. Satu langkahpun aku tidak akan mundur.

Cuma kepulan asap rokok yang selalu jadi penghiburku dikala aku dilanda kecemasan macam ini
Ketika logika dan hati sudah tidak bisa bertemu pada satu titik dan masing-masing dari mereka menyimpang dan membiarkan aku tertegun sendiri ibarat layang-layang putus
Aku sadar pasti aku punya hatiku untuk dijadikan landasan helikopterku
Helikopter yang senantiasa membawaku keliling dunia dan memanjakanku dengan keliaran fantasiku akan kehidupan

“Cinta itu hanya sementara”, kata seseorang dalam sebuah dialog film spanyol yang aku tonton kemarin
“Kenapa juga mesti tidak dinikmati dalam hidup kita yang hanya sekali ini?”
Lantas aku bercermin dan mendapati wajahku muram secara durjana
Apakah benar ada cinta yang terlarang?
Mengapa disebut terlarang?
Mengapa jatuh cinta itu mesti dilarang?
Mengapa aku tidak dibenarkan jatuh cinta?
Siapa yang mengkontruksi bahwa jatuh cinta dengan si anu, si dia, si doi, itu terlarang?
Mengapa jatuh cinta pada orang yang kata manusia kebanyakan terlarang itu seolah-olah menjadi alat jagal paling ampuh untuk memasung perasaanku padanya?
Aku serasa di aniaya dan dimutilasi menjadi 28 bagian.

Aku bergumam
Aku merunduk
Aku bergumul
Aku lantas berpikir
Bukankah aku memiliki hak atas tubuh dan diriku sendiri
Aku yang memiliki kontrol akan hati, pikiran terutama cintaku pada seseorang
Aku tidak ingin diusik
Tidak oleh kata si anu, kata si dia, kata si doi yang seolah-olah paling tahu tentang cinta terlarang

Aku memejamkan mata dan membiarkan pikiranku membawaku ke dunia antah berantah yang memiliki kebebasan lintas dimensi untuk satu kata CINTA
Dimana cinta itu pada akhirnya menjadi milik manusia itu sendiri, dan bukan orang lain.
Karena bukan aku yang memilih CINTA, tetapi CINTA yang memilih aku.
Sangat manusiawi

Ini bukan perkara menjadi seseorang yang terlarang
Tetapi ini perkara menghargai cinta yang datang
Toh dia datang tanpa diundang!



Nawi, 19 Januari 2009
17.30
Merah putih kotak
Akutidakmerasainisebuahcintaterlarang
karenaterlalutinggiuntukdibilangterlarang

Minggu, Januari 18, 2009

tiktok, cck cck, klikklik dan blabla

Tiktok
Jangan janjikan aku sutra, tapi beri aku mata
Untuk menikmatimu lebih lama, dari hidupku yang sementara

Cck cck
Provokasi aku dengan bahasa gila, aku jamin aku bisa mengira
Semua tafsir dalam makna, dari lubang dalam hidupmu yang belum hampa

Klikklik
Bibirmu menggelitik, sentuhanmu penuh kritik
Dengan genap jarimu kau lukis aku dengan kuas cat yang telah tercabik

Tolong sampaikan pada siapapun yang sedang bersenandung
Bahwa kidung ini layak untuk dinikmati, bukan mengundang mendung

Blabla
Kalau kau pikir untaian ini tidak dimengerti, maka janganlah dihirau
Ini hanya tiktok, cck cck, klikklik dan blabla.

Serentetan gelisah karena demam
Dan sampah dari mimpi burukku semalam


Hari ke 18, bulan Januari 2009
7 menit lewat dari pukul 2.

Sabtu, Januari 17, 2009

Sekar Wulan Sari


You Are Seductive and Ruthless
You are the total package - suave, sexy, smart, and strong.
You have the whole world under your spell, and you can influence almost everyone you know.
You don't always resist your urges to crush the weak. Just remember, they don't have as much going for them as you do.

You are friendly, charming, and warm. You get along with almost everyone.
You work hard not to rock the boat. Your easy going attitude brings people together.
At times, you can be a little flaky and irresponsible. But for the important things, you pull it together.

You are a seeker of knowledge, and you have learned many things in your life.
You are also a keeper of knowledge - meaning you don't spill secrets or spread gossip.
People sometimes think you're snobby or aloof, but you're just too deep in thought to pay attention to them.

You are usually the best at everything ... you strive for perfection.
You are confident, authoritative, and aggressive.
You have the classic "Type A" personality.

You are wild, crazy, and a huge rebel. You're always up to something.
You have a ton of energy, and most people can't handle you. You're very intense.
You definitely are a handful, and you're likely to get in trouble. But your kind of trouble is a lot of fun.

You are very charming... dangerously so. You have the potential to break a lot of hearts.
You know how what you want, how to get it, and that you will get it.
You have the power to rule the world. Let's hope you're a benevolent dictator!

You are a very lucky person. Things just always seem to go your way.
And because you're so lucky, you don't really have a lot of worries. You just hope for the best in life.
You're sometimes a little guilty of being greedy. Spread your luck around a little to people who need it.

You are relaxed, chill, and very likely to go with the flow.
You are light hearted and accepting. You don't get worked up easily.
Well adjusted and incredibly happy, many people wonder what your secret to life is.

You are very intuitive and wise. You understand the world better than most people.
You also have a very active imagination. You often get carried away with your thoughts.
You are prone to a little paranoia and jealousy. You sometimes go overboard in interpreting signals.

You tend to be pretty tightly wound. It's easy to get you excited... which can be a good or bad thing.
You have a lot of enthusiasm, but it fades rather quickly. You don't stick with any one thing for very long.
You have the drive to accomplish a lot in a short amount of time. Your biggest problem is making sure you finish the projects you start.

L.I.L.I.N


Dengan mataku yang dikutuk menjadi kelereng ini aku memperhatikan perempuan itu
Muda, biasa, tapi bias sinarnya kemana-mana
Ada sesuatu disana, dihatinya, dimatanya, dibibirnya
Banyak luka terbuka
Bertaburan asa
Mudah dibaca
Sederhana

Dengan jariku yang disulap menjadi airmatanya aku meleleh diatas pipinya
Batinnya merintih, lidahnya ingin menjerit, tapi yang terlihat hanya senyum
Aku semakin deras mengalir di pori-pori wajahnya, turun dengan perlahan tetapi pasti, pipi, hidung, ujung bibir dan mati pada ujung bajunya yang berlapis dua
Membekas basah
Aku lebur

Aku biarkan lidahku yang disulap menjadi jantungnya merasakan betapa ia kesulitan untuk hanya sekedar mengambil napas
Dia sama sekali tenggelam dalam detak nadinya sendiri
Dia kerap kali menarik napas panjang hanya untuk membuat dirinya yakin dia bisa hidup lebih lama
Untuk lebih lama lagi menanggung rahasia yang mesti ia emban
Ia tersiksa sekaligus bahagia

Kejap matanya
Sudut bibirnya
Ujung hidungnya
Jentik jari manisnya
Puting payudaranya
Katup jantungnya

Semuanya mengandung rahasia

Aku memperhatikan dengan mata kelerengku tiap kali dia menyibak rambut panjangnya
Setiap dia mengucap jutaan bahasa yang disamarkan dengan tawanya
Aku menemukan satu kata
GETIR

Lidah rapuhnya
Telinga manisnya
Kuku mungilnya
Urat dikulitnya
Asap rokoknya

Semuanya mengandung rahasia

Aku menemukan kata kedua
MISTERI

Dia menoleh ke aku, yang serta merta kembali menjadi cermin
Dan dengan warna hatinya yang terlihat jelas melalui sorot matanya
Dia katakan bahwa, ”kata yang ketiga tepatnya adalah LILIN”.

Detik itu juga aku paham.

--------------------------------


Masih jakarta bagian selatan
Menuju tengah malam 3 menit lagi, Januari ke 16
Dalam kesendirian yang terasa begitu hampa
Tanpa apa dan siapa

Kamis, Januari 15, 2009

Pualam

Dijual, dibeli.
Macam dagangan sayur mayur
Dihampar di alas koran dan lipatan triplek
Kotor dengan lalat yang mengerubungi

Ditarik, diulur
Macam layangan dengan benang setajam silet
Terbang tinggi menjadi manik-manik langit
Riuh menerjang angin kesana dan kemari

Dikulum, diludah
Macam permen yang tak sedap dirasa lidah
Mencerca air liur yang hinggap di tenggorokan
Tersisa tinggal kenangan akan rasa permen itu sendiri

Pualam ini bukan mainan
Ini sungguhan

Uraian kata ini jujur
Bukan bohongan

Dijual, dibeli
Ditarik, diulur
Dikulum, diludah
Persis kamu yang sedang mempermainkan jiwaku

Jakarta, 15 Januari 2009
Pk. 18.41 WIB
Dibalik sinar lampu putih yang silaukan mata

Selasa, Januari 13, 2009

Kecewa (lagi)

Aku menanti sapamu diantara desir angin hari ini
Tapi tiada apa dan siapa yang hadir maupun mampir
Aku mampu merasakan jiwa dan tubuhku melemah
Aku terluka

Aku pikir diriku istimewa
Ternyata memang hanya dianggap biasa saja


Januari 13, 2009
pk. 23.59 WIB

Kamis, Januari 08, 2009

Penari bergincu merah terluka


Diam dengan gincu merah menyala
Matanya jalang, melirik kanan dan kiri dengan bahu yang bergidik
Hembusan napasnya persis penari topeng di panggung malam
Meliuk, riuh rendah penuh gelegak

Dia mati suri sejenak
Kontradiksi yang membuatnya nyaris gila
Kecenderungan yang memilukan
Dibalik gelak tawanya yang lepas
Banyak rahasia tersimpan
Sebaiknya kau waspada

Berjagalah

Jangan kau mau diperkosa oleh kepiluan yang sedang melanda
Karena kamu super manusia
Layak merasakan pedih di bawah nol

Pasang segera gincu merahmu
Lampirkan selendangmu di lehermu yang jenjang
Bebat segala kain yang telah kau tanggalkan
Jangan hiraukan kulit yang lembab
Menawanmu tidak akan hilang
Kau sama berharganya seperti manusia yang lain
Jangan panik dengan semua jelaga yang mereka hinakan atas tubuh dan dirimu
Kemilau mu tidak pudar
Kau itu kunang-kunang yang melingkari lilin merah menyala

Menarilah lagi dengan kesatuan antara tubuh dan ruh mu
Jangan lagi usap air mata yang luruh dari dua kelopak mawar matamu
Kamu merugikan detik hidupmu hanya untuk hal yang telah dikontruksi secara sistemik

Jangan tanya siapa yang salah dan siapa yang benar
Siapa yang iblis dan siapa yang malaikat
Mana surga mana neraka
Tapi SIAPA kamu?

Merdekalah

Pasang segera gincu merahmu
Lampirkan selendangmu di lehermu yang jenjang
Bebat segala kain yang telah kau tanggalkan
Jangan hiraukan kulit yang lembab
Menawanmu tidak akan hilang
Kau sama berharganya seperti manusia yang lain


Januari hari ke 8, tahun 2009
Taman firdaus bentuk kotak
Selesai jam 11.18

Untuk: perempuan berjelaga